
MALANG POST – Di tengah tantangan keterbatasan fasilitas dan akses di daerah terpencil, para kepala sekolah dan guru di Kabupaten Bondowoso (Jawa Timur) dan Kabupaten Tana Tidung (Kalimantan Utara) justru menunjukkan kepemimpinan progresif dengan mendorong pembelajaran inklusif dan berbasis inovasi.
Dukungan terhadap penerapan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) pun semakin terbuka, meskipun infrastruktur belum memadai.
Riset terbaru bertajuk “Kepemimpinan Reflektif Kepala Sekolah dalam Peningkatan Akses Pendidikan Berkeadilan melalui Lingkungan Belajar Inovatif dan Teknologi AI”.
Dilaksanakan pada Juni 2025. Hasilnya mengungkap bahwa mayoritas kepala sekolah secara aktif melakukan evaluasi kebijakan bersama guru, membangun forum refleksi rutin, dan menyesuaikan pendekatan pembelajaran dengan kebutuhan lokal siswa.
“Kami memang belum sepenuhnya menggunakan AI, tapi semangat untuk berubah dan beradaptasi sudah kami mulai,” ujar Evi Silfiana, Kepala SDN Sumber Pandan 2 Bondowoso, yang menjadi salah satu responden dalam survei.
Hasil survei terhadap para guru dan kepala sekolah menunjukkan bahwa 90 % responden setuju bahwa AI dapat membantu menganalisis capaian belajar siswa dan merancang pembelajaran yang adaptif.
Bahkan, sebanyak 85% menyatakan bahwa kepala sekolah mereka mendukung pemanfaatan AI dalam perencanaan pembelajaran.
Namun, tantangan masih membayangi. Di antaranya adalah minimnya pelatihan guru, keterbatasan jaringan internet, serta belum tersedianya perangkat AI di sekolah.
Meski begitu, para kepala sekolah menunjukkan respons reflektif dengan mengambil kebijakan berbasis masukan guru, memperbaiki strategi pembelajaran, serta mengintegrasikan kearifan lokal dalam kurikulum.
“Kami ajak siswa belajar dari budaya mereka sendiri. Mereka diajak membuat produk lokal seperti genteng atau tahu. Itu proyek nyata yang menyenangkan dan mendidik,” jelas seorang guru SDN Kalianyar 1, Bondowoso, saat diwawancarai dalam observasi lapangan Senin (16/6/2026) lalu.
Model lingkungan belajar inovatif (ILE) yang diterapkan meliputi: pembelajaran berbasis proyek, integrasi teknologi sederhana seperti LCD dan video pembelajaran, serta penyesuaian materi bagi siswa berkebutuhan khusus.
Di SDN Wonosari 1, misalnya, guru menggunakan sound mini untuk mengubah pelajaran menjadi lagu—sebuah pendekatan unik untuk meningkatkan daya serap siswa.
Kolaborasi sekolah dengan orang tua juga diperkuat melalui media sosial dan grup WhatsApp. Kepala sekolah mendorong keterlibatan orang tua dalam tugas rumah anak, menciptakan jembatan komunikasi yang lebih dekat antara rumah dan sekolah.
Riset ini menyimpulkan bahwa kepemimpinan reflektif kepala sekolah di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) mampu menjadi fondasi penting dalam menciptakan pendidikan yang inklusif, responsif, dan siap menyambut transformasi digital.
“Kami butuh pelatihan berkelanjutan agar guru siap menghadapi era pembelajaran berbasis AI,” tambah Sofia Handriyana, Kepala SDN Dawuhan Bondowoso.
Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan pelatihan yang menyasar kebutuhan lapangan, sekolah-sekolah di daerah terpencil pun dapat menjadi pionir perubahan dalam mewujudkan pendidikan Indonesia yang merata dan berkeadilan. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)