
MALANG POST- Di tengah bentangan alam yang hijau dan atmosfer religius di District Yaha, Provinsi Yala, Thailand Selatan, Camelia Najwa, mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menjalani pengalaman menarik.
Ia tidak sekadar ikut program magang, namun juga menjadi bagian dari program internasional yang menggabungkan aktivitas mengajar dan pengabdian masyarakat.
Ini merupakan hasil dari kerangka kerja sama antara Asosiasi Muhammadiyah Indonesia dan Muhammadiyah Thailand. Adapun ia dan belasan mahasiswa UMM lain tengah mengajar di sana dari Mei-Juli 2025 ini.
Program ini merupakan bentuk kerja sama lintas negara yang telah berjalan sejak awal tahun 2010-an, khususnya di lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMM.
Dalam program ini, mahasiswa berkesempatan untuk mengajar di sekolah dasar yang berlokasi di Thailand Selatan, sebuah kawasan yang membutuhkan tenaga pendidik Bahasa Inggris karena minimnya warga lokal yang fasih berbahasa asing.
Camelia ditempatkan di Asosiasi Muhammadiyah Thailand, tepatnya di wilayah Yaha. Ia mengajar di sekolah dasar berbasis English village.
Tantangan pertama yang ia hadapi adalah hambatan bahasa. Bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat bukanlah bahasa Thai baku, melainkan bahasa lokal setempat. Mirip seperti keberadaan bahasa Jawa atau Madura di Indonesia.
Hal ini mendorong Ia untuk mempelajari bahasa Melayu kuno, yang digunakan sebagai alternatif komunikasi dengan siswa dan guru. Meski sulit, ia berkomitmen untuk tetap membangun komunikasi yang efektif dan hangat dengan para siswa.
“Saya mau tidak mau harus belajar bahasa baru agar bisa memahami dan dipahami oleh mereka,” ujarnya.
Pengalaman ini tidak hanya menantang dari sisi akademik, tetapi juga memberi pelajaran tentang rasa syukur dan semangat pengabdian.
Sekolah tempatnya mengajar dikelola secara gratis oleh Muhammadiyah. Setiap pagi siswa mengikuti upacara, dilanjutkan dengan senam bersama, kemudian salat dhuha berjamaah di musholla sekolah.
Proses belajar mengajar dimulai pukul sembilan pagi dan seluruh siswa dari jenjang PAUD hingga SD mendapatkan makan siang secara cuma-cuma. Namun, keterbatasan tetap terasa, sehingga ia harus terus berpikir kreatif agar siswa tetap bisa belajar dengan semangat dan kegembiraan.
Kondisi lingkungan sekitar sekolah juga tidak bisa dilepaskan dari konteks keamanan wilayah. Setelah waktu salat Isya, anak-anak diminta untuk tetap berada di dalam rumah karena kawasan tersebut memiliki sistem pengawasan ketat.
Dalam radius satu hingga lima kilometer terdapat pos militer yang menjaga keamanan. Meskipun demikian, masyarakat tetap menunjukkan keramahan yang luar biasa. Ia bahkan sering dianggap sebagai warga lokal karena wajahnya dinilai mirip dengan penduduk sekitar.
Kehangatan juga datang dari siswa-siswanya. Mereka selalu ceria dan penuh semangat saat belajar. Jika ia sedikit terlambat masuk kelas, para siswa langsung datang menjemputnya dengan antusias.
Interaksi tersebut membangun ikatan emosional yang kuat antara pengajar dan murid. Ia pun merasakan bahwa keberadaan mahasiswa Indonesia sudah sangat familiar bagi masyarakat Thailand Selatan karena setiap tahun selalu ada mahasiswa yang datang dalam program serupa.
Pengalaman ini menyadarkannya akan pentingnya nasionalisme dan kontribusi nyata dalam dunia pendidikan. Ia menyadari bahwa cinta tanah air bisa tumbuh dari kebiasaan sederhana yang dilakukan secara konsisten.
Menurutnya, menjadi guru bukan sekadar menyampaikan materi, tetapi juga membentuk fondasi moral dan intelektual generasi mendatang. Setelah nanti menyelesaikan program ini, ia ingin mengimplementasikan pengalaman dan keterampilan yang didapat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Ia juga berharap dapat terus mengembangkan kemampuan bahasa asing, berpikir kritis dan inovatif, serta memiliki pandangan global dalam melihat isu-isu pendidikan.
Dari pelosok Thailand Selatan, Ia belajar bahwa meskipun berada di negeri orang, rasa cinta terhadap tanah air tidak pernah pudar. Ia menemukan makna dalam ungkapan ‘Indonesia is home’.
Betapa pun nyamannya berada di negeri orang, ada kalanya kerinduan terhadap tanah kelahiran menguat. Maka seburuk apa pun keadaan di negeri sendiri, sebaik-baiknya manusia adalah yang berusaha memperbaiki. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)