
MALANG POST – Ketua Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB), Dr. Fachrizal Afandi, menghadiri Konferensi Tahunan ke-2 Asian Law Schools Association (ALSA) Criminal Law Chapter di Thammasat University, Bangkok.
Forum ini menyatukan para pakar hukum pidana dari berbagai negara Asia Pasifik untuk mendiskusikan arah dan tantangan reformasi hukum pidana dan acara pidana. Dengan tema “Criminal Law Reform: Then and Now,” konferensi ini menjadi ruang dialog penting yang mencerminkan transformasi global dalam sistem peradilan pidana, dari pendekatan konservatif menuju digitalisasi dan keadilan berbasis teknologi.
Selama dua hari penuh pada (9/6-10/6/2025), para akademisi dan praktisi hukum dari Australia, India, Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, hingga Indonesia membahas perkembangan krusial dalam sistem peradilan masing-masing. Hadir sebagai pembicara antara lain:
Prof. Mrinal Satish (NLSIU, India), Prof. Andreas Schloenhardt, Dr. Rebecca Wallis (University of Queensland, Australia), Prof. Stanley Yeo (National University of Singapore), Dr. Daniel Pascoe (City University of Hong Kong), Dr. Haezreena Begum (University of Malaya, Malaysia), Dr. Nagarathna Annappa, Dr. Kunal Ambasta, Dr. Nikita Ahalyan, Dr. Karan Singh Chouhan, Dr. Aditi Kavia (National Law School of India University), hingga Dr. Nella Sumika Putri dan Dr. Diajeng Wulan Christianti (Universitas Padjajaran, Indonesia).
Dalam paparannya, Fachrizal yang juga Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI) menyoroti bahwa Indonesia justru belum bergerak secara substansial dalam reformasi hukum acara pidana.
Sementara negara lain tengah menata prinsip-prinsip hukum pidana berbasis kecerdasan buatan dan teknologi digital, Indonesia masih berkutat dengan debat kuno yang sudah berlangsung sejak 1980-an: apakah sistem kita harus tunduk pada due process atau crime control model, dan apakah perlunya pengawasan yudisial (judicial scrutiny) terhadap tindakan upaya paksa.
Ironisnya, alasan klasik seperti “geografis Indonesia terlalu luas” atau “peradilan terbatas” masih terus digunakan sebagai pembenar untuk tidak memperkuat perlindungan hak tersangka dan korban.
“Negara-negara seperti India dan Malaysia sudah berbicara tentang peran algoritma dan tantangan etika AI. Kita masih memperdebatkan dominus litis dan judicial scrutiny seolah belum selesai dari PR abad ke-20,” ujar Fachrizal.
Paparan dari para pembicara India dan Malaysia mempertegas kesenjangan tersebut. Dr. Nagarathna Annappa, misalnya, menjelaskan bagaimana sistem hukum acara pidana baru di India memungkinkan laporan polisi atau pendaftaran First Information Report (FIR) yakni dokumen resmi yang dicatat oleh kepolisian saat pertama kali menerima informasi mengenai dugaan tindak pidana melalui platform online, penggunaan rekaman video dalam penyidikan, pelaksanaan sidang remand daring, dan pengajuan berkas perkara secara elektronik.
Namun ia juga mengingatkan bahwa digitalisasi tanpa standar operasional prosedur (SOP) yang ketat bisa menimbulkan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, terutama bagi kelompok rentan yang minim akses terhadap teknologi.
Dr. Karan Singh Chouhan dan Dr. Aditi Kavia menyoroti penerapan predictive policing di India yang memanfaatkan sistem seperti HunchLab dan CMAPS. Sistem ini, jika tidak dikritisi secara etis dan yuridis, berisiko memperkuat over-policing terhadap komunitas marginal. Mereka mengingatkan bahwa penggunaan data historis yang bias dapat menciptakan false positives, yakni deteksi ancaman yang keliru, yang justru merugikan kelompok rentan dan memperlemah asas praduga tak bersalah.
Dr. Haezreena Begum dari Univeritas Malaya menyoroti perkembangan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam sistem peradilan pidana di Malaysia. Teknologi ini mulai dilibatkan di beberapa negara bagian, khususnya untuk membantu hakim dalam menjatuhkan putusan. Meskipun belum digunakan untuk menentukan kesalahan atau vonis secara langsung, algoritma telah dilibatkan dalam memberikan rekomendasi hukuman berdasarkan pola putusan sebelumnya.
Langkah ini diklaim dapat meningkatkan efisiensi, namun juga menimbulkan kekhawatiran terkait transparansi dan potensi bias sistemik yang dibawa oleh AI. Penerapan AI di ranah ini menunjukkan keberanian Malaysia untuk menjajaki model masa depan sistem peradilan pidana berbasis teknologi.
Rebecca Wallis dari Australia dalam sesi reflektifnya menekankan perlunya reformasi sistemik yang tidak hanya fokus pada hukum materiil, tetapi juga menyentuh hukum acara dan pembuktian. Ia menunjukkan bagaimana hukum pembuktian diubah agar lebih akomodatif terhadap trauma korban, tanpa mengorbankan hak-hak tersangka.
Wallis menekankan pentingnya pendekatan sistemik terhadap reformasi hukum pidana, tidak hanya dari sisi substansi, tetapi juga pada perubahan dalam sistem pembuktian, prosedur pengadilan, hingga pelatihan dan alokasi sumber daya. Ia mengajak peserta untuk bertanya secara jujur: “Reformasi seperti apa yang benar-benar bekerja? Untuk siapa, dalam konteks apa, dan bagaimana kita bisa mengetahuinya secara pasti?”
Wallis mencontohkan perubahan besar dalam sistem hukum pidana negara bagian Queensland yang kini mengadopsi model afirmatif dalam hukum perkosaan dan kriminalisasi bentuk-bentuk kekerasan non fisik. Ia menekankan bahwa perubahan hukum ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari gerakan sistemik yang mencakup pendidikan publik, pelatihan aparat, dan evaluasi menyeluruh berbasis prinsip sistem.
“Kita tidak bisa menilai reformasi hukum pidana hanya dari apakah satu pasal diubah. Kita perlu melihat keseluruhan sistem: dari aktor di lapangan, proses di pengadilan, hingga arah kebijakan nasional,” jelas Wallis.
Sementara itu, Prof. Stanley Yeo dari National University of Singapore menyimpulkan bahwa integrasi teknologi dalam sistem peradilan pidana merupakan sebuah keniscayaan. Tantangannya, menurut Yeo, bukan pada menolak teknologi, tetapi memastikan bahwa prinsip dasar hukum acara pidana seperti praduga tak bersalah, hak atas pembelaan, dan keadilan prosedural tetap terjaga dalam sistem yang makin otomatis.
“Kita harus bersiap mengadopsi teknologi dengan bijak. Menolak berarti tertinggal, namun mengadopsi tanpa etika akan membahayakan,” tegasnya.
Konferensi ini menjadi cermin keras bagi Indonesia. Di saat negara lain berlomba membangun arsitektur hukum acara pidana yang adaptif, Indonesia masih berkutat dalam polemik terminologis dan konseptual yang tak kunjung rampung. Tak hanya soal teknologi, tetapi juga kemauan politik dan keberanian institusional untuk berbenah.
Para pembicara menegaskan bahwa hukum pidana tidak boleh berhenti sebagai teks, tetapi harus berfungsi sebagai sistem. Sebuah sistem yang adil, transparan, dan akuntabel dalam kenyataan. Baik pendekatan sistemik seperti yang disampaikan Wallis, maupun peringatan tentang bias data seperti yang diangkat para akademisi India dan Malaysia.
Semuanya bermuara pada satu kesimpulan: tanpa pengawasan publik dan partisipasi masyarakat sipil, reformasi hukum pidana hanya akan menjadi lapisan kosmetik belaka. Fachrizal berharap hasil konferensi ini bisa menjadi amunisi moral dan intelektual bagi Indonesia untuk kembali mendorong reformasi hukum pidana secara substansial, bukan hanya kosmetik. Dunia sudah berubah, dan hukum harus bergerak bersama perubahan itu,” pungkasnya. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)