
Muhammad Havel Dhiya Ulhaq, S.H. (Foto: Istimewa)
MALANG POST- Gelaran wisuda Universitas Brawijaya (UB) selalu ada yang menarik. Baik dari segi prestasi para wisudawan, maupun momen-momen unik yang terjadi.
Beberapa hal yang menarik adalah wisudawan cumlaude yang langsung diterima kerja, wisudawan termuda yang meraih gelar Sarjana dengan IPK tinggi, serta aksi kocak Rektor UB saat berfoto bersama wisudawan. Termasuk di gelaran Wisuda Universitas Brawijaya (UB) Periode XXI, yang digelar Sabtu (13/6/2025).
Muhammad Havel Dhiya Ulhaq SH merupakan wisudawan terbaik dari Fakultas Hukum. Havel mampu menyelesaikan kuliahnya dalam waktu 3 tahun enam bulan dengan IPK yang hampir mencapai sempurna atau 3.99.
Cita-cita mengambil program studi ilmu hukum sudah dimantapkannya sejak duduk di bangku kuliah. Menurutnya, ada suatu ketertarikan ketika dia melihat kasus-kasus berbau kriminal sepeti pencurian dan pembunuhan.
“Hal yang membuat saya semakin yakin pada saat mengambil ilmu hukum adalah prospek kerjanya yang sangat luar dan bisa diterima di segala bidang industry,” ujarnya.
Anak ke-2 dari 3 bersaudara tersebut mendapat banyak pengalaman selama kuliah di FH. Terlebih dalam mata kuliah praktik peradilan, terutama ketika harus memposisikan diri sebagai praktisi hukum dalam suatu perkara.
Hal lain yang ia dapatkan adalah berkaitan dengan bagaimana menyusun argumentasi dan melakukan diskusi, baik dengan dosen maupun teman-teman di bangku kuliah.
Ditambah ia juga menjalani magang mandiri di 2 kantor hukum. Pengalaman magang tersebut memberikannya banyak pengetahuan dan gambaran bagaimana nantinya menangani kasus dan memastikan kliennya mendapatkan apa yang menjadi haknya.
Mempunyai nilai yang hampir sempurna bukan perkara mudah. Havel mengaku dalam menyelesaikan kuliah di ilmu hukum, banyak godaan yang berdatangan. Namun prinsip yang dia pegang, bahwa tugas utama kita adalah belajar dan belajar. Maka menurutnya, akan sadar dengan kemampuan sehingga memporsi kegiatan diluar akademik agar tidak menganggu dan menghambat kegiatan akademik.
Mungkin apabila berkaitan dengan ruang lingkup akademis yang belum kesampaian adalah menulis artikel jurnal di jurnal internasional, semoga bisa tercapai dikemudian hari. Rencananya Havel bercita cita akan menjadi pengacara yang berfokus pada hukum bisnis dan perpajakan serta mengambil S2 di luar negeri atau menjadi dosen.

Patricia Angelique Edelweiss Lase, S.S., salah satu wisudawan terbaik dengan IPK 3,96. (Foto: Istimewa)
Sementara itu, Patricia Angelique Edelweiss Lase, S.S., berhasil menyelesaikan kuliahnya di Universitas Brawijaya dalam waktu 3 tahun 4 bulan dengan IPK 3,96.
Ia masuk UB melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri di Program Studi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya. Ayahnya berasal dari Suku Nias dan bekerja sebagai karyawan swasta, sedangkan ibunya dari Suku Jawa merupakan ibu rumah tangga.
“Meski dari keluarga menengah, orang tua saya selalu menanamkan pentingnya pendidikan dan nilai kerja keras,” urainya. Ketertarikannya pada bahasa dan budaya sudah muncul sejak SMA.
“Saya memilih Sastra Inggris di UB karena melihatnya sebagai ruang yang tepat untuk menggali bukan hanya kemampuan bahasa asing, tetapi juga cara berpikir kritis melalui analisis teks, budaya, dan fenomena sosial,” jelasnya.
Selama kuliah, Patricia aktif dalam berbagai kegiatan akademik dan non-akademik. “Saya pernah menjadi asisten dosen dan berkontribusi di beberapa projek penelitian Fakultas,” ungkapnya. Ia juga aktif di Unit Aktivitas Band UB, Brawijaya ASEAN Society, dan menjabat sebagai wakil ketua umum PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) FIB UB.
Patricia merupakan awardee MSIB Magang Merdeka 2024 di KLY Youniverse dan pernah magang di perusahaan IT sebagai social media officer. “Salah satu pengalaman paling berkesan adalah ketika saya mengelola media sosial untuk brand besar dan menulis artikel di media online,”
Judul skripsinya adalah “Double Standards in Praise and Stigma on Physical Appearance on TikTok Social Media: A Face Theory Analysis.”
Hasil kajiannya menunjukkan bahwa media sosial masih menyimpan banyak bias terkait tubuh perempuan, dan penting bagi kita untuk membangun kesadaran serta empati dalam berkomentar di ruang digital.
“Misalnya, tubuh besar bisa dipuji pada satu orang tapi dihina pada orang lain,” ujarnya. Ini ia temukan setelah melakukan kajian pada konten dua kreator perempuan, Kak Gem dan Shaza Zhania, yang membahas isu body positivity.
Kini ia bekerja di salah satu startup, Company Astronauts Indonesia, dan tengah membangun karier di bidang digital marketing.
“Saya ingin terus mengembangkan diri dengan mengikuti kursus bahasa Mandarin dan memperluas wawasan di bidang teknologi dan komunikasi digital,” pungkasnya. (ADV-M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)