
DOSEN Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, Udi Rosida Hijriyanti, M.Psi. Psikolog. (Foto: Istimewa)
MALANG POST – Belakangan, viral isu penyimpangan konten seksualitas yang dibagikan oleh salah satu akun komunitas online di Facebook. Hal ini membuat Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) memberikan pandangannya dari kaca mata psikologis.
Udi Rosida Hijrianti, M.Psi. Psikolog, mengungkapkan bahwa dalam kasus ini terdapat setidaknya dua fenomena kelainan seksual yang tergolong ke dalam gangguan psikologis, yaitu inses dan pedofilia.
Pada dasarnya, wajar jika manusia memiliki hasrat seksualitas. Namun, menurutnya inses dan pedofilia ini adalah penyimpangan dan tidak dibenarkan secara budaya, moral dan agama.
Mengacu pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Edisi kelima (DSM-5- TR), inses dan pedofilia termasuk dalam kategori parafilia atau penyimpangan seksual.
Inses (Incest) merupakan ketertarikan hasrat seksual terhadap anggota keluarga atau kerabat. Sedangkan, pedofilia adalah ketertarikan seksual kepada anak-anak.
Udi menyebut bahwa kedua perilaku ini sangat beresiko dan dapat menyebabkan dampak psikologis serius pada korban. Seperti trauma, depresi, gangguan kecemasan, maupun gangguan perkembangan emosional dan sosial lainnya.
“Sayangnya, dalam situasi ini korban menjadi orang yang paling dirugikan. Korban akan dihantui perasaan bersalah, merasa tidak berharga, dan menarik diri dari lingkungan sosial selama belum ada penerimaan dari dirinya sendiri,” kata Udi.
Kedua kasus ini merupakan kondisi kelainan seksual seseorang yang disebabkan oleh banyak faktor. Diketahui, beberapa diantara para pelaku inses dan pedofilia pernah menjadi korban serupa di masa lalu.
Ini memperkuat resiko terjadinya siklus kekerasan seksual lintas generasi. Faktor pemicunya kerap berasal dari lingkungan keluarga yang tidak sehat. Seperti budaya patriarki ekstrim maupun riwayat mengalami kekerasan fisik dan seksual sebelumnya.
Dan umumnya, hal ini terjadi secara terus menerus, sehingga membentuk karakter atau kepribadian korban untuk akhirnya menjadi pelaku.
Lebih lanjut, Ia menyampaikan faktor eksternal lainnya juga dapat mempengaruhi. Seperti tontonan pornografi, gangguan kepribadian, serta lingkungan sosial seperti kemiskinan, dan pendidikan yang rendah.
Meski demikian, faktor utama tetap berasal dari gangguan psikologis pelaku. Penyimpangan seksual tersebut bisa menimbulkan dampak serius, mulai dari gangguan psikologis pada korban hingga kecacatan pada anak hasil hubungan sedarah.
Melihat kasus ini, penanganan yang tepat dan konsisten terhadap pelaku perlu dilakukan. Yakni, dengan intervensi secara psikologis melalui Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk mengubah distorsi kognitif dan keyakinan yang menyimpang.
Untuk itu, penanganan medis dari psikiater juga diperlukan untuk mengontrol dorongan seksual pelaku. Disamping itu, bagi korban anak-anak, terapi bermain (play therapy) dan CBT dibutuhkan untuk mengatasi trauma dan mengembalikan rasa percaya diri anak.
Selain itu, dukungan dari keluarga dan orang sekitar korban menjadi sangat penting dalam proses pemulihan.
“Apalagi memang anak anak tidak bisa dengan mudah mengungkapkan dengan terus terang pengalamannya. Biasanya hal-hal tersebut akan mereka utarakan sembari mereka bermain,” Udi melanjutkan.
Anak korban inses dan pedofilia membutuhkan dukungan penuh keluarga, dijauhkan dari stigma negatif, serta mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan dari KPAI, Dinas Sosial, dan Kepolisian sangat dibutuhkan.
Pendidikan Seksual Sehat melalui seminar dan psikoedukasi penting untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan. Kemudian, masyarakat juga harus lebih aware dan bijak menyaring konsumsi konten digital.
Tak hanya itu, dalam kasus ini keterlibatan hukum sangat penting guna memberikan efek jera kepada pelaku, serta menciptakan rasa aman bagi para korban. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)