
MALANG POST – Tingkat pemahaman masyarakat di Malang Raya, terkait pembelian properti, sudah semakin tinggi. Ketelitian masyarakat, juga sudah pada titik yang layak dipertanggungjawabkan.
Karena saat ingin beli properti, memang harus dipertanyakan soal legalitasnya. Paling tidak perizinannya selesai semua.
Hal tersebut disampaikan Direktur Marketing Pramaland, Ahmad Taufik, saat menjadi narasumber talkshow di program Idjen Talk, yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Jumat (23/5/2025).
“Berbeda memang saat sebelum pandemi Covid-19 dulu. Masyarakat ketika itu prioritas beli properti tempat strategis dan fasilitasnya sudah mulai dibangun,” tambahnya.
Namun demikian, pihaknya mengaku, ada golongan developer yang langsung memakai dana untuk show unit dan mengesampingkan perizinan.
Padahal seharusnya yang paling penting itu, menyelesaikan dulu perizinan. Baru nanti fokus pengembangan pembangunan properti.
Itulah sebabnya, Taufik menyebut, masyarakat harus lebih teliti ketika ingin beli properti. Paling tidak, ada dua hal yang diperhatikan untuk mencegah usaha properti abal abal. Salah satunya adalah soal track record developer itu.
“Perlu dipastikan jam terbang sudah tinggi dan selalu menuntaskan kewajibannya dengan konsumen.”
“Hal lainnya, kalaupun memang sebagai cluster baru, harus dipastikan perizinannya jelas,” tegasnya.
Bukan itu saja, Taufik menyebut, user punya hak untuk meminta bukti copy document perizinannya dan memastikan developer tersebut tergabung dalam asosiasi developer.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisariat REI Malang Raya, Laji Siswanto, yang menyebut jika developer, juga harus paham soal hukum.
“Paling tidak basic soal properti, mereka harus sudah paham. Sehingga tidak hanya pandai berjualan saja, tapi juga mengerti tentang hukum,” sebutnya.
Ketika developer paham hukum, tambah Laji, developer akan memahami juga soal perizinan yang harus diselesaikan. Sehingga properti yang ditawarkan itu legal.
“Jangan sampai masyarakat tergiur dengan harga murah properti, kemudian lupa tidak konfirmasi perizinannya, bahkan langsung bayar di depan,” tegasnya.
Sementara itu, Dosen Hukum Universitas Wisnuwardhana, Febry Chrisdanty, SH., M.Hum., menjelaskan, perlindungan konsumen itu sudah diatur dalam Undang Undang nomor 8 tahun 1999. Tentang Perlindungan Konsumen, serta hak dan kewajiban. Ada beberapa pasal kaitannya dengan keterbukaan informasi.
“Jadi pihak pengembang itu, harusnya bisa lebih detail menyampaikan soal status propertinya itu.”
“Ada juga undang-undang lain, yang kaitannya dengan perumahan dan permukiman. Serta mengatur soal perjanjian pendahuluan,” tambahnya.
Karena jual beli tanah dan bangunan itu, kata Febry, tidak serta merta penyerahan secara fisik. Tapi juga secara legalitas kepemilikan.
Febry juga menyebut, ada bermacam kasus properti yang terjadi. Seperti perizinan yang tidak lengkap, oknum yang menjanjikan properti fiktif dan pembangunan yang dilakukan bukan di atas tanah sendiri.
“Bahkan ada juga yang memalsukan dokumen, seakan akan itu asli,” tegasnya.
Untuk pelanggaran-pelanggaran yang terjadi ini, kata Febry, bisa dipetakan permasalahannya dimana. Dengan melihat kesepakatan antara developer dengan user diatas penandatanganan.
Jika memang ada yang janggal, sebutnya, maka bisa dilakukan gugatan. Sedangkan jika ranahnya sudah soal penipuan, bisa dilaporkan langsung ke pihak kepolisian.
Tapi permasalahn permasalahn properti ini, sebenarnya bisa juga disampaikan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). (Wulan Indriyani/Ra Indrata)