
Kapolres Batu, AKBP Andi Yudha Pranata. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
MALANG POST – Polres Batu mencatat ada sebanyak 142 perkara kekerasan terhadap perempuan, anak dan kelompok rentan sepanjang tahun 2022 hingga 2025. Jumlah tersebut terbilang cukup tinggi, bagi Kota Batu yang hanya punya tiga kecamatan ini.
Kapolres Batu, AKBP Andi Yudha Pranata merinci, pada tahun 2022 ada sebanyak 31 perkara yang terlapor, tahun 2023 naik menjadi 58 perkara, lalu di tahun 2024 turun menjadi 29 perkara.
“Sedangkan pada tahun 2025 hingga bulan Mei tercatat ada sebanyak 24 perkara. Jumlah tersebut hanya perkara yang dilaporkan oleh korban dan tidak semua selesai secara hukum,” ungkap Andi, Minggu (18/5/2025).
Dia mengibaratkan seperti teori gunung es. Dimana di luar sana dimungkinkan masih banyak korban yang belum bersuara dan melapor.
“Selama ini kita hanya mendapat laporan. Padahal ketika mau mendalami lebih dalam, mungkin ada banyak korban lain yang kadang butuh pendamping maupun stimulator,” urainya.
Andi juga mengungkapkan, sejauh ini perkara kekerasan perempuan dan anak masih relatif tinggi. Sejak Januari hingga Mei 2025, setengah di antaranya merupakan kasus perdagangan bayi. Kasus itu juga mendapat perhatian khusus.
Andi menyebut rata-rata perkara PPA selesai secara Restorative Justice (RJ). Alasannya mayoritas pelaku juga masih memiliki hubungan kekerabatan dengan korban, seperti Omnya atau Kakaknya.
“RJ dilakukan atas kemauan korban. Beberapa korban yang ingin pelaku dihukum, proses pidananya akan tetap berlanjut hingga meja hijau. Banyak yang diindikasi atas intervensi,” jelasnya.
Dalam catatan Polres Batu, 62 kasus sejak tahun 2022 berakhir RJ. Termasuk 12 kasus sepanjang tahun 2025 dan seluruhnya berakhir RJ.
“Situasi seperti ini mungkin adil bagi kita, namun bagi anak yang merupakan korbannya belum tentu adil,” tutur Kapolres.
Secara keseluruhan, Kapolres juga mengungkapkan, dalam konteks tersebut, paling banyak kasus yang terjadi di Kota Batu adalah tindak pidana persetubuhan. Karena itu, dia menekankan kepada tim penyidik untuk permasalahan tersebut tidak boleh dilakukan RJ.
“Tidak boleh RJ, harus gas pol. Kita harus berkomitmen dan tidak ada toleransi perihal tindakan yang dilakukan dan mencederai anak-anak kita. Baik kekerasan fisik, psikisi, gender dan lainnya,” tutupnya.
Sementara itu, Dirtipid PPA-PPO Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Nurul Azizah mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) untuk meningkatkan kapasitas dalam penyidikan. Sehingga kolaborasi antar-stakeholder sangat diperlukan.
“Kejahatan di berbasis gender tidak bisa dilakukan hanya pencegahan saja,” ungkapnya.
Nurul menekankan pentingnya rasa kepedulian terhadap diri sendiri maupun orang sekitar untuk menekan angka kasus tersebut. Dengan begitu, semakin banyak akses layanan bagi korban untuk melapor.
“Kami menargetkan Unit Pelindungan Perempuan dan Anak (UPPA) tidak hanya ada di Polres saja tetapi juga sampai di tingkat polsek,” imbuhnya.
“Kami sadar, bahwa kejahatan berbasis gender itu tidak bisa kami selesaikan sendiri, baik dari pencegahan, penanganan, pemilihan dan perlindungan harus dilakukan secara berkolaborasi dengan stakeholder terkait,” tutupnya. (Ananto Wibowo)