
MALANG POST – Kesadaran berinvestasi di kalangan generasi muda semakin meningkat, namun pemahaman yang benar terhadap pasar modal masih perlu ditingkatkan lebih lanjut.
Hal inilah yang mendorong Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menggelar seminar bertajuk “Level Up Finansial: Saatnya Melek Pasar Modal” pada Rabu, 7 Mei 2025.
Menghadirkan dua narasumber berkompeten, seminar ini menyajikan pembahasan kritis mengenai peluang dan risiko dunia investasi, khususnya di pasar modal.
Venus Kusumawardana, S.E., M.M., membuka materi dengan menegaskan bahwa investasi bukan soal ikut-ikutan atau mengejar keuntungan cepat, melainkan soal kesadaran finansial dan perencanaan jangka panjang.
Karena masih sering kali orang berpikir investasi itu hanya tentang untung, tanpa sadar bahwa yang dibeli adalah bagian dari perusahaan, dan itu punya risiko.
“Banyak investor pemula terjebak dalam pola konsumtif yang terselubung di balik istilah ‘trading harian’ atau ‘saham gorengan’.”
“Kecenderungan generasi muda yang membeli saham berdasarkan popularitas atau viralitas semata. Jangan hanya terpaku pada harga saham murah.”
“Saham murah bisa jadi tidak layak beli jika tidak ada fundamental yang jelas. Lihat laporan keuangan, perhatikan dividen, dan pahami sektor industrinya,” kata Venus.
Lebih lanjut, Venus menguraikan konsep capital gain dan dividen, serta menjelaskan bahwa memahami siklus pasar dapat menjadi alat penting untuk menghindari kerugian besar.

Ia menyampaikan bahwa pasar modal memiliki siklus mingguan, tahunan, bahkan dekade, dan menekankan bahwa tanpa kesabaran dan perencanaan, investor bisa tersapu oleh fluktuasi.
Ia juga menyarankan agar mahasiswa mulai berinvestasi dengan jumlah kecil, seperti Rp100 ribu per bulan, namun tetap konsisten dan cermat dalam memilih saham.
Sedangkan pembicara kedua, Hesty Tri Budihartati, S.E., M.M., memperkuat pembahasan mengenai urgensi literasi keuangan dengan data dan realita di lapangan.
Ia menyebutkan bahwa meski jumlah investor Indonesia mencapai lebih dari 16 juta jiwa, tingkat literasi pasar modal masih di bawah 5 persen.
“Banyak yang punya akun efek tapi tidak tahu apa itu emiten, apa itu KSEI, bahkan tidak paham beda tabungan dan investasi. Inilah yang memicu mudahnya masyarakat terjebak dalam skema investasi bodong.”
“Saya ingin teman-teman paham, investasi itu bukan sekadar tren, tapi alat untuk melawan inflasi. Jadi jangan cuma ikut-ikutan, pelajari dulu dasarnya,” ucap Hesty.
Hesty juga menyoroti pentingnya memiliki alokasi keuangan yang sehat. Ia mengimbau agar seseorang mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan dalam pengeluarannya.
Ia menjelaskan bahwa setidaknya 20 persen dari penghasilan, bahkan jika itu hanya berupa uang jajan, sebaiknya dialokasikan untuk investasi dan dana darurat. Ia juga mengingatkan bahwa menabung sebaiknya tidak ditunda sampai memiliki pekerjaan tetap.
Dekan FEB UMM, Prof. Dr. Idah Zuhroh, M.M., juga menyampaikan refleksi penting terkait mentalitas mahasiswa terhadap keuangan. Ia menegaskan bahwa menjadi mahasiswa ekonomi seharusnya juga berarti berpikir ekonomis dan strategis.
“Literasi harus mendahului inklusi. Jangan terjun ke investasi hanya karena ikut tren saja tetapi, pahami dulu risikonya. Kita tidak bisa terus bergantung pada transfer orang tua.”
“Jadikan penghasilan dari mereka sebagai modal untuk belajar mengelola keuangan secara bijak. Investasi bukan hanya tentang uang, tapi juga tentang pengetahuan, konsistensi, dan keberanian mengambil keputusan berdasarkan informasi yang akurat,” ujarnya. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)