
Aswin Ariyanto Azis, S.IP.MDevSt, Ketua Departemen Politik Pemerintahan Hubungan Internasional Universitas Brawijaya. (Foto: Dokumen Pribadi)
MALANG POST – BRICS adalah singkatan dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok dan Afrika Selatan. BRICS adalah kelompok negara berkembang yang memiliki pengaruh besar dalam perekonomian global dan sering dianggap sebagai penyeimbang dominasi negara Barat.
BRICS bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dan koordinasi di antara anggota dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi dan geopolitik.
Bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh mulai 6 Januari 2025 menjadi perhatian Aswin Ariyanto Azis, S.IP.MDevSt.
Pakar sekaligus Ketua Departemen Politik Pemerintahan Hubungan Internasional Universitas Brawijaya tersebut menilai.
Bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh dalam BRICS merupakan langkah yang tepat untuk menambah platform diplomasi Indonesia selain ASEAN.
Aswin mencontohkan bagaimana BRICS menjadi wadah yang tepat untuk pertahanan diri dalam kondisi geopolitik global sekarang.
Aswin mengatakan BRICS dapat dijadikan forum bertukar strategi antara negara anggota dalam menghadapi kebijakan tarif Trump.
Meskipun melihat hal ini secara optimis, namun Aswin juga menjelaskan BRICS belum digunakan sebagai wadah membangun solidaritas dalam konsolidasi untuk menghadapi kebijakan unilateral dan koersif.
“Dalam kondisi perang tarif AS, negara-negara sibuk melakukan konsolidasi kedalam dan menyelamatkan diri masing-masing, bahkan mengikuti kemauan AS.”
Dalam pemaknaan asas politik bebas aktif, Aswin menilai langkah Indonesia bergabung BRICS ini selalu relevan. Bebas-aktif tidak bermakna netral atau tidak memihak.
Namun, bebas artinya bebas menentukan pilihan sendiri. Sedangkan, aktif tentunya bermakna proaktif dalam mengambil peran dalam diplomasi internasional untuk kepentingan perdamaian, keadilan dan kemakmuran global.
“Indonesia bebas mengejar kepentingan nasional termasuk dalam forum multilateral Negara Selatan-Selatan seperti BRICS,” terangnya.
Selama ini, kerjasama multilateral didominasi oleh Barat. Kehadiran BRICS menurut Aswin sebagai tawaran alternatif kerjasama multilateral.
Misalnya, kerjasama pembiayaan pembangunan yang selama ini banyak berasal dari World Bank dapat digantikan oleh New Development Bank, bantuan likuiditas IMF dengan CRA, transaksi pembayaran SWIFT dengan CIPS, akses dan kerjasama transfer pengetahuan dan teknologi. Untuk mencapai hal-hal tersebut, BRICS masih membutuhkan waktu.
“Mengingat BRICS masih sangat muda, sehingga ini semua membutuhkan proses,” tambah Aswin.
Aswin juga menjelaskan bahwa Indonesia harus mengantisipasi dinamika internal BRICS seperti usaha Barat untuk memecah BRICS melalui India.
Persaingan China, India, Rusia di salam BRICS pada sektor prioritas pembangunan seperti infrastruktur, teknologi, atau energi.
Selain itu, Indonesia harus bersiap atas dinamika eksternal seperti tekanan diplomatik Barat apabila Indonesia dianggap meninggalkan Barat.
“Apabila Indonesia dianggap meninggalkan Barat, berkurangnya investasi dari Barat (AS/UE), bahkan sanksi perdagangan,” kata Aswin.
Bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS berpeluang menaikkan profil regional sekaligus mendorong ASEAN agar lebih terlibat dalam arsitektur multipolar. Namun, langkah ini juga dapat memicu kegelisahan anggota ASEAN.
“Anggota ASEAN lain yang khawatir akan terganggunya prinsip konsensus dan ASEAN centrality, mengingat pendekatan BRICS lebih club-based daripada ASEAN yang berbasis unanimity,” jelas Aswin.
Di ranah domestik, Indonesia di dalam BRICS akan menghadirkan diversifikasi sumber pembiayaan seperti; akses pinjaman NDB untuk infrastruktur dan energi terbarukan yang berbiaya kompetitif.
Sehingga mempercepat proyek pemerintah tanpa tergantung sepenuhnya pada World Bank/ADB, dan; perimbangan Arus FDI: Dengan masuknya investasi baru dari anggota BRICS (khususnya China Rusia dan India), Indonesia dapat mengimbangi potensi penurunan investasi Barat dan memperkuat klaster manufaktur serta teknologi.
Di sisi lain, apabila pemerintah menunjukkan kecenderungan kurang transparan kedepannya dapat memunculkan resistensi masyarakat yang khawatir bahwa Indonesia terlalu dekat dengan rezim otoriter yang digunakan oleh Barat seperti China dan Rusia.
“Sehingga, komunikasi publik yang efektif menjadi krusial,” tuturnya.
Aswin menyarankan langkah konkret semacam pembentukan BRICS Task Force antar kementerian anggota untuk menginventarisasi dan menyiapkan pipeline proyek prioritas.
Penguatan kapasitas negosiasi seperti pelatihan intensif diplomat dan pejabat teknis (Kemenlu dan Kemendag) agar mahir dalam mekanisme NBD/CRA dan mampu menegosiasikan syarat pembiayaan yang menguntungkan.
Sinergi ASEAN-BRICS, memformalkan jembatan kerjasama antara sekretariat ASEAN dan sekretariat BRICS guna menjaga keseimbangan regional.
Komunikasi publik untuk transparansi dan akuntabilitas dalam bentuk publikasi berkala laporan manfaat proyek BRICS untuk membangun kepercayaan publik. Tidak meninggalkan Barat melalui diplomasi ekonomi ganda.
Sebagai pakar politik dengan fokus development studies, Aswin berharap Indonesia dapat memanfaatkan platform BRICS untuk memperjuangkan agenda Global South–memperkuat kerjasama Selatan-Selatan seperti ketahanan pangan, energi bersih, dan reformasi lembaga keuangan internasional–dalam kerangka kemitraan yang adil dan setara. (M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)