
Abdul Hair (paling kiri) sedang melakukan halal bihalal dengan Mahasiswa Indonesia yang kuliah di Edinburgh. (Foto: Dok Abdul Hair)
MALANG POST – Tidak semua sivitas akademika sebuah kampus bisa merayakan Hari Raya Idul Fitri bersama keluarga. Terlebih jika mereka sedang menjalankan tugas di luar negeri atau belajar di kampus luar negeri.
Maka harus merayakan lebaran sendiri. Meski sendiri, tentu ada beberapa cerita hingga kesan yang didapatkan. Salah satunya yang dialami Abdul Hair, dosen Ilmu Komunikasi FISIP UB.
Saat ini, Abdul Hair sedang menjalani program Doktor di The University of Edinburgh Skotlandia. Tahun ini adalah kali pertama dia menjalani hari raya di negeri orang.
Dalam keteranganya kepada Humas Fisip UB, ada beberapa hal yang membedakan antara lebaran di Indonesia dan Skotlandia.
“Di sini (Skotlandia) sepertinya tidak menggunakan hisab. Semua menggunakan metode hilal. Kalau di Indonesia baru diketahui tanggal 29 Ramadhan habis maghrib.”
“Tapi kalau di sini, sudah terlihat sekitar jam 2 siang. Hilalnya terlihat sebelum matahari terbenam. Kami di sini lebaran tanggal 30,” paparnya.
Hair menceritakan, untuk pertama kali dia melaksanakan shalat Ied tidak menggunakan sarung dan hanya memakai celana panjang biasa.
Menurutnya, selama 17-18 tahun terakhir merayakan hari raya, dia selalu memakai sarung khusus Donggala yang ditenun oleh neneknya.
“Kenapa kemudian saya tidak memakai sarung seperti biasanya, ini bukan karena saya tidak membawanya. Tapi karena saya merasa aneh menggunakan sarung karena selama hidup di UK (United Kingdom). Saya tidak pernah melihat orang di sini shalat pakai sarung. Adanya pakai jubah atau celana,” ucapnya.
“Alasan kedua, salat Ied di sini dilaksanakan saat suhunya di bawah 10 derajat. Jadi kalau menggunakan sarung bakal dingin,” sambung pria alumni Sarjana Ilmu Komunikasi UB ini.
Namun keputusannya tidak memakai sarung saat shalat Ied ini bakal tidak dilakukan lagi oleh Hair. Sebab ternyata umat muslim yang berasal dari Timur Tengah atau Afrika cuek saat memakai pakaian khas mereka ketika salat Ied.
“Jadi saat shalat Ied di Edinburgh Central Mosque, teman-teman muslim dari Timur Tengah dan Afrika cuek saja. Mereka pakai pakaian khas. Mereka tidak peduli dan ternyata warga lokal juga tidak peduli.”
“Karena itulah saat itu saya menyadari keputusan saya tidak pakai sarung ternyata asumsi tidak berdasar. Jadi kalau shalat ied lagi, saya akan pakai tradisi pakai sarung lagi,” ujarnya.
Hair mengungkapkan pelaksanaan shalat Ied di Edinburgh dilakukan sebanyak empat kali. Ini dilakukan karena jumlah muslim yang banyak. Namun masjid atau lapangan terbatas.
“Di Edinburgh shalat Ied ada empat kali. Jam 7 pagi, jam 8, jam 9 dan jam 10 pagi. Kenapa dilaksanakan 4 kali, muslim di sini minortitas dan tidak banyak masjid.”
“Sehingga agar bisa akomodir, dibuat ke beberapa jamaah. Saya saja yang jam 10 pagi tidak kebagian tempat di dalam masjid,” papar pria asal Palu ini.
Satu hal yang dirindukan oleh Abdul Hair adalah keluarga. Hari raya Idul Fitri tahun ini adalah kali pertama dia tidak bersama keluarga. Menurutnya, saat di Indonesia selalu bergantian merayakan di keluarganya atau keluarga istri.
“Ini pertama kali tidak hari raya bersama keluarga. Istri saya juga tidak di Edinburh karena dia sedang studi di Hamburg Jerman. Kalau berdua mungkin mengobati rasa kangen di Indonesia. Ini murni pertama kali tidak ada keluarga saat hari raya. Saya merasa sedih karena tidak bisa lebaran bersama keluarga,” jelasnya.
Meski demikian, perihal makanan khas Indonesia saat hari raya, Hair tidak terlalu khawatir. Dia mengungkapkan saat hari kedua lebaran atau tanggal 31 Maret (waktu Skotlandia), mahasiswa Indonesia di Edinburgh melakukan halal bihalal dan tiap orang membawa makanan khas Indonesia.
“Ini yang mengobati kangen masakan Indonesia, ada yang bawa opor, ada yang bawa ikan,” pungkasnya. (M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)