
Para peserta Global NCD Alliance Forum 2025 dari berbagai negara. (Foto: Istimewa)
MALANG POST – Mahasiswa Program Studi Pariwisata Fakultas Ilmu Administrasi semester 6, Fitroh Awaludin, berhasil terpilih sebagai salah satu dari dua delegasi muda yang mewakili Indonesia dalam Global NCD Alliance Forum 2025 yang berlangsung di Kigali, Rwanda selama tiga hari (13-15/2/2025).
Fitroh menemukan informasi terkait forum ini melalui platform digital U-Report yang dikelola UNICEF Indonesia. Forum tersebut berfokus pada strategi global dalam menangani penyakit tidak menular (Non-Communicable Diseases/NCDs), seperti diabetes, kanker, penyakit jantung, kesehatan mental, dan pernapasan kronis.
Proses seleksi yang dilalui Fitroh tidaklah mudah. Ia harus melewati tahap administrasi yang ketat, termasuk pembuatan video tentang kontribusinya di bidang NCDs.
“Saya hanya punya waktu lima hari untuk mempersiapkan semua berkas, termasuk video yang menjelaskan aktivitas saya dalam meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental bagi anak-anak di pulau terluar Indonesia,” ungkapnya.
Meskipun pernah gagal dua kali dalam seleksi program UNICEF Indonesia sebelumnya, Fitroh tak menyerah dan akhirnya berhasil lolos sebagai delegasi untuk forum internasional ini.
“Saya yakin pengalaman yang saya bangun selama ini, terutama melalui kegiatan volunteer, bisa menjadi modal kuat dalam membawa suara anak-anak Indonesia di forum global,” tambahnya.
Dalam forum ini, Fitroh mengangkat keterkaitan antara kesehatan mental dan NCDs. Menurutnya, stres, kurangnya akses pendidikan kesehatan, serta gaya hidup tidak sehat dapat meningkatkan risiko NCDs.
“Sebagai mahasiswa pariwisata, saya melihat bahwa sektor ini dapat menjadi alat untuk meningkatkan kesehatan masyarakat melalui konsep ekowisata dan wellness tourism,” jelasnya.
Salah satu gagasan yang ingin ia kembangkan setelah forum ini adalah mengintegrasikan perspektif kesehatan dalam pariwisata. Seperti menciptakan program wisata yang mendukung aktivitas fisik dan kesehatan mental.
Fitroh mengungkapkan bahwa kesempatan berada di Rwanda adalah pengalaman yang luar biasa. Selain bertemu dengan delegasi dari berbagai negara, ia juga mendapat kesempatan berdiskusi langsung dengan perwakilan WHO dan organisasi kesehatan dunia lainnya.
“Saya belajar banyak dari cara mereka menangani isu NCDs, terutama dalam aspek kebijakan dan implementasi di masyarakat,” katanya.
Salah satu tantangan terbesar yang ia hadapi adalah kepercayaan diri dalam berbicara bahasa Inggris di forum internasional.
“Awalnya saya merasa gugup, tetapi saya mendapatkan banyak dukungan dari peserta lain. Salah satu teman internasional saya mengatakan, ‘English is just a language, not knowledge or anything else,’ dan itu sangat membangkitkan semangat saya,” kenangnya.
Menurut Fitroh, pemuda memiliki peran besar dalam mengatasi NCDs, baik melalui edukasi, advokasi kebijakan, maupun inovasi gaya hidup sehat.
“Kita bisa memulai dari hal kecil, seperti mempromosikan pola makan sehat, meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental, serta menciptakan program berbasis komunitas yang mendukung gaya hidup aktif,” tuturnya.
Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan mahasiswa dalam gerakan global.
“Jangan biarkan keterbatasan bahasa menjadi penghalang. Yang penting adalah bagaimana kita bisa menyampaikan ide dan berkontribusi di tingkat internasional,” pesannya kepada mahasiswa UB.
Setelah kembali dari forum ini, Fitroh berencana untuk mengembangkan program edukasi Sokola Alam, yang ia rintis untuk mengenalkan kesehatan mental kepada anak-anak di daerah terpencil.
Ia berharap konsep pembelajaran berbasis aktivitas luar ruang ini dapat membantu anak-anak memahami pentingnya kesehatan fisik dan mental sejak dini.
Fitroh berharap prestasinya dapat menginspirasi lebih banyak mahasiswa UB untuk terlibat dalam isu-isu global. Ia juga mendorong universitas untuk memberikan lebih banyak dukungan bagi mahasiswa yang ingin berpartisipasi di ajang internasional.
“Dukungan kampus dalam bentuk pelatihan, mentoring, dan akses terhadap program global sangat penting untuk membuka lebih banyak peluang bagi mahasiswa UB,” ujarnya.
Sebagai penutup, Fitroh mengingatkan bahwa impian besar selalu datang dengan tantangan besar. “Bukan mimpi jika tidak membuatmu takut dan susah tidur tiap malamnya. Berani mencoba dan terus belajar adalah kunci untuk bisa berkontribusi di tingkat global,” pungkasnya.
Dengan pencapaian ini, Fitroh Awaludin telah membuktikan bahwa mahasiswa Indonesia, khususnya dari Universitas Brawijaya, mampu bersaing di level internasional dan membawa perubahan bagi masyarakat global.(*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)