![](https://malang-post.com/wp-content/uploads/2025/02/WhatsApp-Image-2025-02-18-at-17.12.31_f041b626-1024x682.jpg)
DISKUSI ILMIAH: Akademisi UB saat menggelar Seminar dan Diskusi Ilmiah bertajuk Menata Ulang Sistem Penegakan Hukum: Tantangan dan Harapan. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
MALANG POST – Kritik terhadap penyusunan RUU KUHAP oleh DPR RI pada 2025 terus mengalir dari kalangan akademisi. Mengingat dalam draf RUU tersebut masih bernuansa overlapping kewenangan yang berpotensi menimbulkan konflik norma dalam sistem peradilan pidana dan kebijakan publik.
Bahasan ini tercipta dalam Seminar dan Diskusi Ilmiah bertajuk Menata Ulang Sistem Penegakan Hukum: Tantangan dan Harapan’ yang digelar oleh Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya pada Selasa (18/02/2025).
Dalam seminar tersebut menghadirkan sejumlah narasumber. Mulai Prof Drs Andy Fefta Wijaya selaku Ahli Kebijakan Publik, Prof Dr I Nyoman Nurjaya selaku ahli Hukum Pidana hingga Ketua DPD Ferari Jatim Didik Prasetyo.
Ahli Hukum Pidana UB Prof I Nyoman Nurjaya menegaskan jika dalam pembuatan produk hukum seharusnya ada banyak pertimbangan yang harus dilalui. Apakah sudah memenuhi asas hukum, norma hukum, teori hukum, doktrin hukum, putusan MK hingga putusan konvensi-konvensi internasional.
Selain menyangkut urusan hukum, kewenangan, kelembagaan dan lain-lain, lanjut Nyoman, RUU KUHAP harus memberi jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) agar produk hukum itu menjamin keadilan dan kepastian hukum.
”Memang dalam hal ini RUU ini masih rancangan, tapi dalam pembahasannya tetap harus terbuka dalam merespon masukan dari berbagai pihak, tetmasuk dari akademik hingga kebijakan publik,” kata Nyoman.
Sementara, menurut kajian akademis, RUU KUHAP yang akan dibahas ini masih terdapat sejumlah pasal yang inkonsistens dan masih bernuansa overlapping kewenangan.
Padahal secara perspektif prinsip diferensiasi fungsi, kata dia, penugasan fungsi dan kewenangan masing-masing yang sudah ada telah menjamin tertibnya proses penegakan hukum, kepastian hukum dan keadilan.
Sekalipun dalam hal ini penyusunan RUU KUHAP dilakukan sebagai respon terhadap menipisnya trust issues masyarakat terhadap kepolisian, namun bukan berarti penyusunannya dilandasi dengan nuansa overlapping.
Daripada seperti itu, Nyoman justru menawarkan kepada DPR RI untuk mengakomodir legalitas keberadaan penyidik swasta. Jasa penyidik swasta berisi lulusan-lulusan terbaik di banyak negara maju sebenarnya sudah mulai eksis.
Nyoman mengandaikan jika kehadiran penyidik swasta ini akan memunculkan kompetisi antar penegak hukum dalam memberikan pelayanan hukum terbaik kepada masyarakat.
”Jadi ini adalah sebuah alternatif yang bisa jadi peluang di indonesia. Jadi tidak akan ada kesam overlapping kewenangan, karena ini justru akan memunculkan iklim kompetitif. Di banyak negara maju, Eropa dan Australia sudah, penyidik swasta ini sudah ada,” ungkapnya.
Sementara menurut analisis Ahli Kebijakan Publik Prof Drs Andy Fefta Wijaya memandang dalam penyusunan RUU ini harus dilihat sebagai bagian dari public needs atau kebutuhan publik. Bukan perkara soal public interest atau kepentingan publik.
Untuk menjamin public needs, menurut Andy, di mana basis dasarnya adalah keadilan dan HAM memerlukan check nd balance antar institusi dalam menjalankan fungsinya.
”Jadi, fokus kita jangan hanya kepada aktor-aktor penegak hukum seperti jaksa, polisi, tapi sejauh mana para korban, tersangka dan aktor lainnya mendapat pelayanan hukum yang adil. Kalau selama ini seperti kita tahu kan aksesnya terbatas,” ujarnya.
Sebab itu, selain soal kewenangan, alangkah baiknya kata Andy dalam pembahasan RUU KUHAP nanti juga berfokus pada penciptaan sistem yang harmonis. Ini, kata dia adalah momen penting bersama untuk menatanya. Bukan menjadikan mereka sebagai lembaga superbody, tapi lembaga yang terintegrasi dalam satu kesatuan sistem.
”Jadi aturan mainnya harus dikunci dulu ini agar jangan sampai ke depan, masing-masing lembaga gak jalan sendiri-sendiri dan ujung-ujungnya kembali ke suprioritas lembaga. Jadi sistem harmonis ini harus dibangun bareng, dengan penuh keterbukaan, akuntabilitas dan kolaborasi bersama,” tutupnya. (Ananto Wibowo)