
Oleh: Sugeng Winarno, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang
Perang kecerdasan buatan alias akal imitasi makin seru. Setelah sebelumnya heboh ChatGPT dan Gemini, kini muncul DeepSeek. DeepSeek merupakan teknologi berbasis artificial intelligence (AI) besutan China.
DeepSeek tak sekedar inovasi baru, namun kemunculannya juga menandai perang pengaruh lewat akal imitasi yang semakin kuat dari China dan Amerika Serikat (AS).
Dimanapun, namanya perang selalu ada yang jadi korban. Termasuk perang penggunaan AI yang dimainkan China dan AS saat ini.
Negara-negara konsumen teknologi seperti Indonesia bisa jadi korban dari sengitnya perang teknologi berbasis akal imitasi.
Seperti ChatGPT dan Gemini yang telah eksis lebih dulu, keberadaannya menimbulkan sejumlah persoalan di dunia pendidikan tanah air.
DeepSeek diakui lebih handal dibandingkan teknologi sejenis sebelumnya. Kalau selama ini banyak orang menggunakan ChatGPT atau Gemini, bisa mungkin kemunculan DeepSeek bakal memalingkan pengguna dari teknologi sebelumnya.
Karena pada prinsipnya orang selalu mencari teknologi terbaru dan DeepSeek merupakan inovasi paling anyar penyempurnaan teknologi sebelumnya.
Selain DeepSeek made in China, perusahaan teknologi seperti Meta, Apple, Google, dan OpenAI berlomba merilis mesin artificial intelligence (AI) alias akal imitasi dan perangkat keras terbaru pada 2025.
Mesin akal imitasi diprediksi semakin masif digunakan. Beragam sektor kehidupan mengadopsi mesin akal imitasi dalam membantu manusia. Mesin akal imitasi dan manusia semakin tak bisa dipisahkan.
Sejak kemunculannya, penggunaan akal imitasi telah memicu pro dan kontra. Ada yang setuju, namun tak sedikit yang menolaknya. Mesin akal imitasi dikhawatirkan akan menggeser peran manusia.
Di sejumlah negara, penggunaan mesin akal imitasi diatur dan dibatasi terutama di lembaga pendidikan. Fenomena kehadiran akal imitasi ini memunculkan harapan sekaligus kekhawatiran.
Penggunaan ChatGPT, Gemini, DeepSeek, dan mesin akal imitasi yang lain berpotensi menimbulkan bias informasi. Tak semua pertanyaan yang diajukan di mesin tersebut dijawab dengan objektif, jujur, dan terbuka.
Sejumlah pertanyaan terkait kebijakan dan politik China misalnya, tak dijawab oleh DeepSeek dengan baik. Mesin ini sepertinya sudah difilter dengan tak mengeluarkan informasi yang dapat merugikan negara pembuatnya.
Kehadiran aneka mesin akal imitasi memang punya dampat positip. Namun melekat pula sisi negatifnya. Seperti umumnya teknologi, selalu berwajah ganda. Ada wajah baik dan jahatnya.
Semua tergantung pada orang yang menggunakan teknologi tersebut. People behind the technology yang jadi penentu orang berhasil memanfaatkan teknologi atau jadi korban dari dampak buruknya.
Beragam informasi yang disediakan chatbot akal imitasi sangat memungkinkan siapa saja dapat memanennya. Gegara melimpahnya informasi ini bisa melenakan penggunannya dan cenderung alpa dalam melakukan verifikasi dan pelacakan kebenaran informasi.
Bisa mungkin penggunaan chatbot canggih bakal semakin menyuburkan budaya copy paste (copas). Hal ini tentu berdampak buruk terutama bagi dunia pendidikan.
Budaya membaca buku dan sumber bacaan primer yang lain bisa semakin tergerus. Budaya berlama-lama menatap screen laptop atau smartphone akan semakin meningkat. Ketergantungan pada aneka gadget canggih jadi tak terhindarkan lagi.
Situasi ini dapat menyuburkan cara berfikir cepat tanpa kedalaman. Kedangkalan cara berfikir inilah yang bisa memicu munculnya beragam persoalan baru.
(Penulis: Sugeng Winarno, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang)