![](https://malang-post.com/wp-content/uploads/2025/02/11e17861-6400-4553-94ac-6389797980fa-1024x648.jpeg)
MALANG POST – Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan dilakukan pembahasan oleh DPR tahun ini bener-bener mencuri perhatian berbagai kalangan, tak terkecuali dari para akedemisi.
Ini bisa dilihat, dengan digelarnya Seminar Nasional Rancangan KUHAP Dalam Perspektif Keadilan Proses Pidana: Menggali Kelemahan dan Solusi. Seminar Nasional yang diisi pemateri dari sejumlah universitas di Indonesia itu digelar oleh Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB).
RUU tentang perubahan atas UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Naskah akademik dan draf RUU KUHAP saat ini masih disusun Badan Keahlian (BK) DPR.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof Pujiyono menyatakan, rancangan KUHAP yang saat ini sedang ramai menjadi pembahasan, harus diikuti dengan kesadaran untuk memahami perkembangan yang ada.
“Apa yang ada dalam RUU KUHAP ini telah dibuat sejak Tahun 2012 lalu. Tentunya harus disesuaikan dengan ide dan perkembangan KUHP baru yang akan berlaku mulai 2 Januari 2026,” Rabu (12/2/2025).
Menurutnya, apa yang mestinya dibahas dalam RUU KUHAP, mengacu dari perkembangan dalam KUHP Nasional.
“Berbicara tentang RUU KUHAP 2012 sebenernya ini produk yang disiapkan pemerintah, sekarang menjadi inisiasi DPR. Nah yang dipertanyakan, sekarang DPR sudah membuat apa?. Apakah DPR sudah membuat draft RUU KUHAP atau belum?, kan belum. Kemudian naskah akademik juga baru disiapkan, menurut saya ini sangat prematur,” urai dia.
Karena itu, dia menanyakan apakah DPR akan merancang RUU baru, ataukah men takeover dari apa yang sudah ada namun dikaji kembali. Terlepas dari itu, sebagai akademisi pihaknya akan tetap memberikan telaah yang konstruktif, argumentatif dan bukan partisan.
“Namun bagaimana keterlibatan itu, tidak hanya menjadi tarik menarik kekuasaan. Akan tetapi sebagai model yang sesuai dengan ide pembaharuan KUHP yang lalu, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat saat ini,” paparnya.
![](https://malang-post.com/wp-content/uploads/2025/02/35eced65-9164-43d5-9684-d02d29ef18f9.jpeg)
PEMBAHASAN MENDETAIL: Akademisi dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia saat melakukan pembahasan mendetail dalam Seminar Nasional Rancangan KUHAP dalam perspektif keadilan proses pidana: menggali kelemahan dan solusi. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Prof Puji juga menggaris bawahi, bahwa proses penegakan hukum pidana ialah sebuah mekanisme sistem. Sistem itu tidak boleh dipikir secara ter kotak-kotak, namun terintegritas dengan mengutamakan dispensing of justice.
Ahli Hukum Administrasi Negara UB, Prof. Sudarsono menambahkan, tentang bagaimana meramu kelembagaan agar kerja bersama, sebab produknya nanti berlaku untuk masyarakat bukan untuk sektoral-sektoral.
“Sebuah RUU dibentuk karena ada UU sebelumnya untuk diganti dengan UU baru. Huruf R dalam RUU itu berarti solusi, maka rancangan yang akan jadi dasar hukum baru harus bisa menyelesaikan masalah. Sehingga harus betul-betul solutif dan responsif,” tutur dia.
Untuk bisa solutif, maka harus tau kebutuhan, terlebih pembuatan RUU ini berangkat dari sebuah fenomena, kemudian timbul respon untuk membuat fenomena ini menjadi lebih baik, guna mendapatkan output yang positif.
“Jangan sampai RUU tidak tepat sasaran dan tidak memberikan solusi yang solutif,” imbuhnya.
Lebih lanjut, dia juga melihat hubungan lembaga yang efektif. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka harus jelas sesuai kewenangan masing-masing.
“Untuk efektivitas, kata kuncinya pada kewenangan. Institusi punya kewenangan sendiri-sendiri dan bergerak tanpa melihat hal lain, pasti hasilnya akan bagus. Sebab itu, perlu diatur kewenangan antar APH, sehingga ada keseimbangan antara APH dalam menjalin kewenangan,” urai dia.
Prof Sudarsono juga menyampaikan, APH bisa beraktivitas berbekal kewenangan. Tanpa kewenangan, mereka tidak bisa beraktivitas. “Tentunya kewenangan harus berimbang, supaya tidak muncul ego sektoral,” imbuhnya.
Dia mengutarakan, keseimbangan seperti apa yang dibutuhkan, menurutnya keseimbangan yang proporsional untuk menciptakan sinergitas dan hubungan antar lembaga, yakni keseimbangan kewenangan yang proporsional.
“Untuk mewujudkan keseimbangan yang proporsional ini, saya punya beberpa pendekatan, diantaranya jati diri institusi, kelembagaan dan jabatan,” katanya.
Untuk pendekatan jati diri institusi, perlu mengenali jati diri masing-masing. Siapa saya, siapa anda dan siapa mereka, serta harus tau siapa dirimu masing-masing.
“Ini bisa dikorelasikan, dimana posisi saya di sistem penegakan hukum, layak atau tidak menerima kewenangan. Jadi harus tau, posisi saya seperti apa dan kewenangan apa, lalu tugasnya apa,” tuturnya.
Menurutnya, hal-hal tersebutlah yang perlu diciptakan sehingga bisa proporsional antar lembaga. “Selain keseimbangan kewenangan, juga jangan sampai overlapping antar lembaga,” imbuhnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Dr Muhammad Rustamji menambahkan, perlu evaluasi menyeluruh terhadap RUU KUHAP, terutama terkait penghapusan penyelidikan dan overlapping kewenangan berbasis deferensiasi fungsional.
“Selain itu, juga perlu harmonisasi hukum. Ini penting untuk menyelaraskan RUU KUHAP dengan KUHP Nasional dan putusan Mahkamah Konstitusi,” imbuhnya.
Selain itu, dia juga menyarankan untuk melakukan perbaikan formulasi, reformasi pasal-pasal kritis untuk menjaga keseimbangan dan efektivitas sistem peradilan pidana. (Ananto Wibowo)