
DISKUSI FGD yang digelar oleh Departemen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA-UB) Selasa (11/2/2025). (Foto: M. Abd. Rachman Rozzi / Malang Post)
MALANG POST – Ahli Kebijakan Publik Universitas Brawijaya (UB), Prof. Andy Fefta Wijaya turut memberikan pandangannya terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan RUU Kejaksaan.
Prof Andy menyatakan, secara spesifik RUU ini perlu ditahan dulu. Dia melihat konten dalam RUU tersebut perlu diperbaiki.
“Clue-cluenya jelas, jangan sampai RUU menjadikan suatu lembaga menjadi super body. Karena ini nanti bisa berbahaya sekali,” tegasnya dalam kegiatan FGD yang digelar oleh Departemen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA-UB), Selasa (11/2/2025).
Dalam FGD yang bertema ‘Menyeimbangkan Kewenangan Penegakan Hukum dalam Revisi RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP’ itu, pihaknya berkeinginan independensi kepolisian dan Kejaksaan terwujud optimal. Menurutnya hal ini merupakan isu yang sangat sentral dan perlu jadi perhatian.
“Selain independensi dan kewenangan, ada yang lain, yakni bagaimana mereka bekerja sesuai koridor yang ada dan sesuai hak yang diberikan,” tuturnya.
Menurut Prof Andy, digelarnya FGD ini merupakan sebuah kontribusi dari akademisi dan perguruan tinggi untuk memberikan masukan terhadap rancangan undang-undang yang ada.
“Sekarang ini yang jadi perhatian RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan, selanjutnya nanti mungkin RUU Kepolisian. Dengan adanya hal ini, kami khawatir akan terjadi perang RUU,” tuturnya.
Oleh karena itu, seorang ilmuwan harus berkontribusi untuk mengharmonisasi dan menyeimbangkan. Supaya antar RUU satu dan yang lain tidak saling over kewenangan dan tumpang tindih.
“Jangan sampai RUU yang satu memberikan kewenagan yang lebih luas. Kemudian nanti RUU yang lain juga memberikan hal yang sama. Sehingga akan terjadi tumpang tindih kewenangan,” urainya.
“Inilah fungsi kami sebagai ilmuwan, sehingga semua RUU dalam koridor yang harmonis, tertata dan tidak saling menonjol sektornya sendiri,” imbuh dia.
Dia mencatat, RUU tersebut memberikan kewenangan yang lebih besar terhadap Kejaksaan, utamanya dalam proses penyelidikan dan penyidikan, yang sebetulnya secara alamiah merupakan fungsi kepolisian.
“Kami berharap ada penempatan yang proporsional. Kalau semua ini dibiarkan, pasti akan gontok-gontokan dan tidak sehat antar lembaga penelitian hukum,” ungkapnya.

Ahli Kebijakan Publik Universitas Brawijaya (UB) , Prof. Andy Fefta Wijaya. (Foto: M. Abd. Rahman Rozzi/Malang Post)
Sementara itu, Ahli Hukum Administrasi Negara Universitas Brawijaya (UB), Prof. Sudarsono menambahkan, dalam pembentukan sebuah RUU harus dilakukan proporsional. Proporsional dalam hal ini perlu memperhatikan sejumlah parameter. Diantaranya posisi dimana, fungsinya apa dan kewenangan bagiamana.
“Proporsional ini harus jadi pertimbangan dalam proses pembentukan undang-undang,” kata Prof Sudarsono.
Menurut dia, dalam proses pembuatan undang-undang seharusnya tidak hanya merespon sebuah fenomena, namun juga harus ada sebuah kontrol, baik vertikal maupun horizontal.
“Kontrol vertikalnya, apakah keinginan-keinginan yang lebih proporsional itu bertentangan atau tidak dengan produk (undang-undang) lain dan fungsi-fungsi yang lain,” katanya.
Karena rancangan ini merupakan respon dari sebuah fenomena, menurut Prof Sudarsono, maka harus bisa melahirkan solusi yang solutif dan jangan sampai menimbulkan masalah baru.
“Jadi harus ada kontrol, bagaimana dengan undang-undang sektoral tadi dan yang lainnya, jangan sampai menimbulkan persoalan baru. Karena itu, hal ini harus diantisipasi dalam rancangan ini,” urai dia.
Dia menggarisbawahi, proporsional dalam RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan tersebut, yakni kepolisian tetap pada tugasnya saat ini yakni melakukan penuntutan dan penyelidikan, sedangkan Kejaksaan melakukan penuntutan.
“Kewenangan yang sudah diatur dan berjalan tersebut jangan sampai melebar. Apakah nanti ketika kewenangan itu melebar dapat menciptakan keadilan hukum yang baik?,” tanyanya.
Karena itu, dia berharap dari diskusi ini dapat menghasilkan RUU yang baik dan mendekati sempurna. Sehingga tak ada tumpang tindih kebijakan antar penegak hukum. (Ananto W-M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)