
MALANG POST – Pakar Hukum Pidana Bidang Teknologi dan Informasi Universitas Wisnu Wardhana (Unidha) Malang, Prof. Dr. Widodo menyatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan dibahas DPR RI Tahun 2025 ini lebih baik ditunda pengesahannya.
“Pengesahan alangkah lebih baik ditunda. Mestinya harus difikirkan terlebih dahulu. Karena disatu sisi harus dilakukan pembahasan secara detail,” tutur Prof Widodo saat menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Unidha, bersama pakar dan praktisi hukum di Malang Raya, Sabtu (8/2/2025).
Menurut dia, perlunya penundaan pengesahan karena RUU tersebut ada kaitannya dengan RUU tentang Restorative Justice (RJ). Sebab saat ini RJ masih belum ada ketentuan yang jelas dalam Undang-undang (UU).
“Selama ini masih belum ada, yang ada hanya dua. Yakni tentang pidana yang dilakukan terhadap anak dan tindak pidana kejahatan kemanusiaan. Padahal dalam pasal 132 KUHAP, yang tidak akan dituntut itu perkara yang telah diselesaikan diluar pengadilan berdasarkan UU,” jelas dia.
Sementara itu, dalam FGD yang mengusung tema tentang tumpang tindih kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan itu, Prof Widodo khawatir apabila RUU tersebut benar-benar disahkan akan terjadi buntunya kepastian hukum.
“Misalnya disahkan, kemudian ada laporan ke penuntut umum, nanti setelahnya jalannya kemanam kan belum jelas juga. Apakah balik lagi ke kepolisian atau bagaimana alurnya,” tuturnya.
Lalu kekhawatiran ke dua, dengan disahkannya RUU tersebut apakah bisa benar-benar dimanfaatkan. Prof Widodo mencontohkan, masyarakat yang rumahnya jauh dari kejaksaan, apakah tidak memakan waktu lebih lama. Padahal Polisi sudah memiliki Polsek di setiap kecamatan.
“Padahal kalau pemeriksaan BAP harus ketemu orangnya. Otomatis masyarakat akan keluar biaya banyak jika harus datang ke kejaksaan dibandingkan datang ke Polsek,” urainya.
Lalu yang ke tiga, dengan disahkannya RUU tersebut, juga akan berdampak kurang bagus secara keorganisasian. Jika RUU KUHAP Pasal 111 ayat 2, Pasal 12 ayat 11, Pasal 6 hingga Pasal 30 b disahkan, maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan.

DISKUSI: Unidha Malang saat menggelar FGD mendiskusikan tentang adanya tumpang tindih kewenangan antara RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Ini tentu berpotensi tidak adanya batasan yang jelas antara jaksa dan polisi. Hal ini membuat terjadinya dualisme prosedur penyelidikan karena baik polisi maupun jaksa sama-sama memiliki kewenangan menyelidiki. Padahal bsistem peradilan pidana terpadu menghendaki adanya pengawasan yang dilakukan secara vertikal dan horizontal.
“Kejagung diangkat Presiden, Kapolri juga diangkat Presiden. Tapi dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum ada kesan yang kurang bagus,” katanya.
Dia juga mempertanyakan, apabila RUU tersebut benar-benar disahkan, apakah nantinya penuntut umum punya sumber daya manusia (SDM) yang cukup dan mumpuni untuk menangani banyak perkara. Contohnya seperti kasus yang ada di luar negeri, kemudian kasus-kasus yang jangkauannya jauh dari kejaksaan.
“Apakah nanti tidak menumpuk?,” tanyanya.
Karena itu, dengan adanya persoalan ini, dia menawarkan solusi yang seharusnya diperkuat adalah pengawasan penyidikan di institusi masing-masing. Baik di kejaksaan maupun kepolisian.
“Fungsi pengawasan penyidikan tidak memberhentikan proses penyidikan. Namun mengusulkan kepada pemberi tugas penyidikan untuk melakukan evaluasi,” jelas dia.
Dia melihat, yang menjadi perhatian utama dalam RUU ini adalah adanya tumpang tindih penyidikan antara kepolisian dan kejaksaan. Karena itu, hal ini perlu dilakukan pembahasan mendalam.
“Saya lebih setuju untuk kewenangan tersebut seperti yang sudah berjalan sekarang ini. Polisi melakukan penyelidikan dan penyidikan, kemudian Jaksa melakukan penuntutan, jadi alurnya akan lebih bagus,” ujarnya.
Sementara itu, Rektor Unidha, Prof. Dr. Suko Wiyono menambahkan, FGD ini sangat perlu, ini merupakan salah satu tugas perguruan tinggi untuk memberikan masukan pada pembentuk UU agar tidak salah langkah.
“Melalui diskusi ini, bertujuan untuk menampung masukan-masukan dari akademisi dan praktisi hukum. Dari diskusi ini akan muncul alur, seperti apa yang bagus, karena ada tumpang tindih antara RUUD KUHAP dan RUU Kejaksaan, mengenai penyidikan siapa yang lebih berwenang,” paparnya.
Dari polemik ini, pihaknya ingin mendapatkan kepastian hukum. Sehingga tidak ada lembaga yang berebut kewenangan dan memperburuk sistem hukum di Indonesia.
“Ini yang tidak kami inginkan. Nah melalui kegiatan ini, bertujuan untuk bisa mengetahui siapa sebenarnya yang lebih berwenang. Kalau tumpang tindih masing-masing punya kewenangan, apakah nanti tidak rebutan jadinya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, hasil dari FGD ini akan disampaikan ke pemangku kebijakan pembentuk UU yakni DPR dan Presiden. Sehingga dapat menjadi masukan-masukan untuk mereka. Pihaknya meyakini, kolaborasi antara akademisi dan praktisi hukum, sangat penting dalam mengatasi tantangan hukum.
“Melalui cara ini kami berupaya menghasilkan rekomendasi yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan, untuk membahas RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan. Sehingga kewenangan penyelidikan dan penyidikan dapat lebih jelas dan tidak menimbulkan konflik antara lembaga penegak hukum,” tutupnya.(Ananto Wibowo)