![](https://malang-post.com/wp-content/uploads/2025/02/Register-1024x514.jpg)
Pasca dua kali sidang pendahuluan dengan hakim panel Saldi Isra, Arsul Sani dan Ridwan Mansyur dan rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), Nomor 265/PHPU/GUB-XXIII/2025 yang dimohonkan oleh Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim Ibu Tri Rismaharini dan Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans) tidak dapat diterima, sebagaimana sidang pengucapan putusan sela (Dismissal) yang dibacakan oleh hakim konstitusi pada Selasa (4/2) malam di gedung MK.
Perlu masyarakat ketahui bahwa, gugatan Ibu Risma dan Gus Hans bukan ditolak, seperti tertulis dalam pemberitaan-pemberitaan. Melainkan, gugatan tidak dapat diterima, yang bermakna gugatan mengandung unsur cacat formil. Belum masuk pada sidang pokok perkara yang menghadirkan saksi dan ahli serta pemeriksaan alat bukti. Putusan yang demikian, berbeda sama sekali dengan gugatan ditolak. Dimana, penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya. Artinya, gugatan sudah masuk pada sidang pokok perkara. Hakim telah mendengarkan keterangan para saksi dan ahli, juga memeriksa alat bukti.
Terhadap putusan MK yang memutus gugatan tidak dapat diterima, sikap Ibu Risma dan Gus Hans jelas. Walaupun mendalilkan bahwa penyelenggaraan Pilgub Jatim patut diduga tidak jujur dan tidak adil yang bermuara pada dugaan kecurangan yang serius, yakni terstruktur, sistematis dan masif (TSM) serta menyiapkan para saksi dan ahli berikut delapan puluh ribu bukti yang telah disahkan oleh hakim panel, Ibu Risma dan Gus Hans menghormati putusan MK walaupun terdapat keprihatinan mendalam. Keduanya, juga tegas mengatakan bahwa ia tidak ambisius!
Termasuk, tidak akan melakukan segala upaya untuk sebuah jabatan, seperti menggugat ke Mahkamah Agung (MA), sebagaimana dilakukan Khofifah saat tidak terima pada putusan MK, kalah kedua kalinya pada Pilgub Jatim tahun 2013. Selanjutnya, Ibu Risma dan Gus Hans mengembalikan sepenuhnya pada masyarakat Jawa Timur dalam melihat dan menilai proses penyelenggaraan Pilgub Jatim yang meninggalkan catatan-catatan anomali yang mengiringi perjalanan Pilkada tahun 2024.
Gus Hans juga berharap, kepemimpinan Khofifah dan Emil menjadi garda terdepan dalam ikhtiar pencegahan dan pemberantasan korupsi di Jawa Timur. Khususnya, berkomitmen untuk membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah menetapkan 21 tersangka dalam kasus korupsi dana hibah yang bersumber dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Jawa Timur tahun 2019 hingga 2022, yang hingga kini belum tuntas dan menjadi perhatian publik.
Sedangkan bagi tim kuasa hukum, putusan MK yang tidak melanjutkan perkara Ibu Risma dan Gus Hans ke sidang pokok perkara, sangat mengejutkan sekaligus memprihatinkan. Patut diduga, putusan yang diambil mengandung unsur ambivalensi. Sebuah pertentangan antara fakta yang ter-kulik di sidang panel dengan realitas putusan. Mengingat, fakta-fakta yang tersaji dalam sidang pendahuluan, menunjukkan adanya perhatian yang serius, untuk tidak mengatakan KPU Jatim selaku termohon “dikuliti” oleh hakim panel yang dipimpin Saldi Isra.
Sebagai kuasa hukum Ibu Risma dan Gus Hans yang hadir langsung dalam sidang pendahuluan kedua, penulis mencatat setidaknya ada enam sikap hakim yang betul-betul mengejar, mengulik, dan bahkan memarahi KPU Jatim yang selanjutnya menjadi fakta persidangan pendahuluan yang digawangi hakim panel. Keenam fakta berikut ini, tentu telah disaksikan oleh umum melalui kanal YouTube MK. Artinya, masyarakat luas tahu betul tentang fakta-fakta tak terbantahkan berikut ini.
Pertama, saat KPU Jatim, pihak terkait (Khofifah-Emil), dan Bawaslu Jatim membacakan eksepsi (jawaban) yang menyebutkan bahwa MK tidak berwenang mengadili perkara 265 yang dimohonkan Ibu Risma dan Gus Hans karena ambang batas suara yang tidak terpenuhi, seketika hakim Saldi menyela. Bahwa, jika membaca putusan-putusan MK terdahulu, jelas MK berwenang mengadili walaupun tidak terpenuhi syarat formal ambang batas suara seperti dimaksud Pasal 158 Undang-Undang Pilkada, No. 10 Tahun 2016. Baik KPU, Bawaslu maupun pihak terkait (Khofifah-Emil), terdiam.
Artinya, MK hendak menegaskan kepada para pihak, bahwa MK itu bukan Mahkamah Kalkulasi. Tetapi Mahkamah Konstitusi, yang dalam mengadili perkara PHPU tidak semata bicara angka. Lebih dari itu, MK turut memastikan, apakah seluruh tahapan penyelenggaraan Pilkada digelar secara jujur dan adil. Pada akhirnya, MK menghadirkan keadilan yang bersifat substantif.
Kedua, saat KPU dan Bawaslu Jatim mengatakan bahwa di semua tahapan penyelenggaraan Pilkada, Ibu Risma dan Gus Hans tidak mempersoalkan dugaan adanya kecurangan yang TSM, penggunaan Bansos yang diduga menguntungkan paslon tertentu, grafik suara Khofifah-Emil di hitung cepat (quick count) tidak dinamis alias statis di angka 58 persen koma sekian.
Lagi-lagi, hakim Saldi menegaskan bahwa, ketiadaan mempersoalkan dalam tahapan, bukan berarti tidak ada masalah di dalamnya. Artinya, paradigma hakim tampak terbuka dengan segala kemungkinan yang terjadi dalam tahapan-tahapan yang berlangsung, mengapa tidak melaporkan ke Bawaslu Jatim maupun Gakkumdu yang ada.
Ketiga, pada sidang pendahuluan pertama, hakim Arsul Sani dan sidang kedua, hakim Saldi Isra menegaskan hal senada, bahwa sengketa Pilgub Jatim paling menarik karena adanya dugaan anomali-anomali yang didalilkan oleh pemohon sehingga patut untuk dibuka dan dibuktikan.
Artinya, penting untuk disidangkan pada tahap selanjutnya. Memberikan kesempatan pada Ibu Risma dan Gus Hans selaku pemohon, menghadirkan para saksi dan ahli serta memeriksa delapan puluh ribu bukti yang diajukan dan disahkan oleh hakim panel. Tanpa adanya pembuktian terhadap apa yang menjadi dalil-dalil pemohon, sulit mengetahui secara komprehensif kebenaran dalil itu sendiri.
Keempat, yang paling membuat kelabakan KPU Jatim adalah saat hakim Saldi Isra menanyakan secara vis a vis (hadap-hadapan). Mengapa perolehan suara Ibu Risma dan Gus Hans hanya tiga puluh suara bahkan nol suara di tiga ribu sembilan ratus, hampir empat ribu TPS dan di saat yang sama suara Khofifah-Emil 90 persen hingga 100 persen. KPU Jatim tidak mampu menjelaskan secara lugas atas apa yang ditanyakan oleh hakim.
Atas kedodorannya KPU Jatim, hakim Saldi Isra sampai menyimpulkan ketidaksiapan KPU Jatim. “Anda ini bagaimana, kok lebih siap Bawaslu Jatim dalam menjawab pertanyaan hakim,” tegas Saldi Isra. Akhirnya, KPU Jatim tak dapat menyembunyikan kepanikannya di ruang sidang. Antar komisioner KPU Jatim saling memandang, menatap wajah masing-masing. Sedang Ketua KPU Jatim terlihat tertawa. Antara bingung dan menyepelekan sidang MK yang terhormat, bercampur jadi satu.
Kelima, saat pihak terkait (Khofifah-Emil) merespon pertanyaan hakim Saldi tentang Paslon Khofifah yang mendapatkan suara hampir seratus persen dan Paslon Risma memeroleh tiga puluh hingga nol persen sebagai bentuk keberhasilan KPU dan Bawaslu Jatim dalam menyelenggarakan Pilkada, hakim panel tampak tidak puas dengan jawaban yang terlihat mendukung dan memuji kinerja KPU dan Bawaslu. Artinya, jawaban yang menjustifikasi hasil kerja penyelenggara pemilihan kepala daerah sebagai kesuksesan yang luar biasa itu masih menyisakan pertanyaan turunan dalam sidang lanjutan.
Keenam, hakim Saldi Isra menyoal tentang suara sah Pilgub Jatim yang jauh lebih tinggi dari suara sah Pilbup dan Pilwali. “Mengapa perolehan suara Pilgub jauh lebih tinggi dari suara Pemilihan Bupati maupun Pemilihan Wali Kota?” tanyanya, yang kembali membuat KPU Jatim kian tak bisa menguasai diri di hadapan hakim. Untuk kesekian kalinya, KPU Jatim tak bisa mendeskripsikan jawaban yang mampu diterima oleh akal sehat para hakim.
Artinya, hakim berfikir, mungkinkah bisa terjadi sedemikian rupa. Apakah iya, para pemilih mencoblos untuk Pilgub dan tidak memilih untuk Pilbup atau Pilwali alias langsung pulang. Ruangan tampak hening, para kuasa hukum Pilbup dan Pilwali Kabupaten dan Kota selain Jawa Timur saling berbisik pelan.
Karena MK membatasi kuasa hukum yang hadir secara langsung pada sidang pleno MK dengan agenda pembacaan putusan dismissal atau lanjut ke sidang pemeriksaan saksi dan ahli serta alat bukti, penulis diundang stasiun TV nasional ke gedung MK. Menyaksikan sidang sekaligus door stop interview wartawan. Sebagai juru bicara sekaligus kuasa hukum, penulis bicara dan menjawab pertanyaan media tentang dugaan putusan MK yang potensial lanjut.
Nah, pada lain kesempatan, penulis juga hadir langsung pada sidang pendahuluan MK. Sesuai fakta persidangan, penulis menduga kuat bahwa MK akan melanjutkan perkara 265 ke sidang pokok perkara. Secara rasional, keyakinan ini berpijak pada fakta-fakta sidang panel MK. Sejatinya, putusan MK pasti paralel dengan fakta-fakta yang terkuak dalam sidang panel yang dipimpin hakim Saldi Isra.
Namun, saat mendengarkan pertimbangan-pertimbangan MK pada sidang pleno, sungguh mengejutkan. Terasa sekali mengusik rasa kebenaran yang tersuguh dalam sidang pendahuluan. Penulis menilai, MK seperti mengingkari fakta-fakta yang ada dalam sidang panel. Bahkan, potensial mengangkangi fakta-fakta yang begitu nyata tersaji pada sidang panel. Apakah hakim panel lupa kalau persidangan disaksikan publik secara terbuka?
MK dengan gagah perkasa, membalik fakta-fakta itu kemudian memvonis bahwa permohonan Ibu Risma dan Gus Hans mengandung unsur cacat formil sehingga tidak bisa dilanjutkan ke sidang pokok perkara. Beberapa kali, juga menyebut kata tidak terbukti. Padahal, perkara Ibu Risma belum masuk pada pembuktian saksi, ahli, dan pemeriksaan alat bukti. Aneh, bukan?
Jujur, penulis menghela nafas panjang. Dada terasa sesak! Betapa tidak, pada sidang pendahuluan, fakta-fakta yang terekam di sidang panel, berbanding terbalik dengan pertimbangan-pertimbangan yang terungkap pada sidang pleno. Dalam hati, penulis bergumam pelan. Ada apa dengan Mahkamah Konstitusi? Di sisi lain, berdasarkan fakta persidangan pendahuluan, para kuasa hukum percaya, sidang panel hakim MK yang dipimpin sosok berintegritas, seperti hakim Saldi Isra akan menyajikan putusan yang substantif pada sidang pleno.
Ternyata, realitasnya tidak bicara demikian. Perubahan sikap hakim MK yang kita saksikan dalam sidang pleno, begitu drastis! Seorang kolega mengatakan hal satire terkait sikap yang berbeda saat sidang panel dan sidang pleno dengan gambaran berkendara. Inikah yang disebut dengan sein kanan tapi belok kiri? Entahlah. Penulis pun tak faham, apa yang sesungguhnya terjadi dengan para hakim yang mulia, yang menjadi wakil Tuhan, itu.
Mungkinkah ada tangan tak terlihat (invisible hand), seperti dimaksud ekonom dan filsuf Skotlandia Adam Smith. Menggambarkan insentif yang kadangkala diciptakan oleh pasar bebas bagi orang-orang yang mementingkan diri sendiri. Sekali lagi, penulis tak cukup pengetahuan soal itu. Di samping tak pernah berurusan dengan yang namanya tangan tak terlihat, sejak mendirikan Firma Hukum PROGRESIF LAW hingga saat ini, hanya biasa bersinggungan dengan tangan-tangan yang terlihat.
Sejak MK berangsur mampu mengembalikan citra positifnya dalam setahun terakhir, penulis kerap mengapresiasi MK sebagai lembaga negara yang menjadi harapan masyarakat dalam mendukung tumbuh dan suburnya demokrasi di tanah air. MK mulai berkemajuan sejak mengambil sikap progresif sehingga melahirkan putusan-putusan yang menyehatkan demokrasi. Dugaan penulis, berdasarkan fakta-fakta persidangan pendahuluan (sidang panel), MK akan tampil lebih progresif.
Nahas, MK seperti yang diduga sebagian masyarakat. Pada praktik dalam perkara PHPU menjadi Mahkamah Kalkulasi. Bukan Mahkamah Konstitusi yang mengusung dan mengawal peradaban demokrasi yang berkemajuan. Bersikap independen dan imparsial. Tidak berpihak pada salah satu pihak. Tidak dapat dipengaruhi oleh salah satu pihak. Mengungkap kebenaran hakiki sekaligus menghadirkan keadilan yang substantif. (*)