
MALANG POST – Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sebagai prioritas, diterapkan melalui Contractor Safety Management System (CSMS).
Hal itu sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970, tentang Keselamatan Kerja. Untuk memastikan nihil kecelakaan kerja atau zero accident di seluruh industri. Terutama di sektor konstruksi yang rawan.
Hal itu disampaikan Project Manager EPC Freeport Smelter Gresik, RM. Harry Prihadhie Hatmo Pramono, saat menjadi narasumber talkshow di program Idjen Talk. Yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Kamis (16/1/2025).
“Tanggung jawab K3 kerap disalahpahami. Karena sering menjadi kambing hitam saat kecelakaan terjadi. Padahal banyak insiden sebenarnya disebabkan oleh kelalaian pekerja,” katanya.
Di sisi lain, Harry Prihadhie juga melihat, masih banyak ditemukan ketidakpatuhan pekerja terhadap penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), atau mengabaikan aturan zona berbahaya.
Padahal semua pihak tanpa terkecuali, berperan untuk saling mengingatkan demi keselamatan bersama.
Harry juga mengakui, kalau faktor manusia seperti rasa ingin tahu yang berlebihan, sering menjadi penyebab utama kecelakaan.
“Hal itu menjadi tantangan terbesar dalam penerapan K3 di setiap perusahaan. Kami berharap, budaya peduli keselamatan terus dikembangkan, supaya setiap individu punya kesadaran tinggi dalam menjaga diri,” tandasnya.
Sementara itu, Dosen Prodi D4 K3 Poltekkes Kemenkes Malang, Nafilatul Fitri, menekankan pada semua pihak, khususnya pemilik perusahaan, bahwa K3 bukan hanya kewajiban, tapi juga tanggung jawab moral.
Tapi menurut Fitri, saat ini penerapan K3 di Indonesia masih didominasi oleh sektor perusahaan formal saja. Sedang industri non formal cenderung mengabaikan.
“Butuh kolaborasi antar pihak dari industri dan pemerintahan, untuk mengatasi kesenjangan itu. Selain pentingnya memperhatikan 5M sebagai pedoman K3. Seperti man, money, machines, materials dan methods, untuk memastikan keselamatan di tempat kerja,” jelasnya.
Idealnya, tambahnya, pelatihan K3 untuk pekerja dilakukan setahun sekali. Tapi di beberapa perusahaan mengadakan secara berkala dan lebih sering.
Fitri juga menyebut dampak kecelakaan kerja, yang tidak hanya merugikan perusahaan, tetapi juga menimbulkan stigma di masyarakat.
“Ketika ada kecelakaan kerja, masyarakat seringkali menganggap perusahaan lalai, meskipun penyebabnya bisa lebih kompleks,” sebutnya.
Ke depannya, Fitri menyampaikan harapan K3 tidak hanya menjadi kewajiban formal. Tetapi juga budaya yang diterapkan secara konsisten di seluruh sektor.
Dengan begitu, angka kecelakaan kerja dapat diminimalkan dan keselamatan pekerja benar-benar menjadi prioritas utama. (Faricha Umami/Ra Indrata)