Pasangan Kris Dayanti (KD) -Kresna Dewanata Phrosakh menganggap debat calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Batu, merupakan kebersamaan mencari solusi demi kemajuan kota.
Debat paslon, Senin (21/10/2024) malam mengusung tema pariwisata, pertanian, agraria dan lingkungan hidup.
Kresna Dewanata menilai debat bukanlah sesuatu yang membuat gesekan. Namun sebuah diskusi untuk mencari solusi demi kemajuan.
“Karena itu, dalam debat tadi kami tenang saja. Karena setiap paslon pasti mau yang terbaik untuk Kota Batu,” kata Dewa.
Mantan Ketua KNPI Kabupaten Malang itu mengatakan program setiap paslon sangat baik. Ia pun menyebut, kelak ia dipercaya memimpin Kota Batu akan mengadopsi program yang baik dari paslon lain.
“Jika diamanahi, pasti kami akan ambil program yang baik-baik dari seluruh paslon, untuk bisa kami elaborasi dan kolaborasikan sehingga jadi program unggulan di Kota Batu,” katanya.
Berbekal pengalaman selama menjadi anggota DPR RI, pasangan KD-Dewa ingin memberikan darma bakti untuk masyarakat Kota Batu.
Dewa mengakui jalannya debat penuh dinamika dan sengit. Debat sengit karena semua paslon wali kota ingin memberikan yang terbaik untuk Kota Batu.
“Dalam debat tidak ada unsur menyerang personal, tapi paslon menyerang program, karena pastinya setiap paslon ingin unggul di program-programnya,” kata Dewa.
“Maka dari itu, kami tanyakan apakah benar semua programnya bisa dilakukan dan bukan hanya sekedar jargon saat kampanye,” sambungnya.
Kota Batu menurutnya sudah mendapat tagline yang namanya Kota Wisata Batu. Maka dari segala aspek yang harus ditarik awalnya adalah pariwisata.
Karena itu, jika bicara soal pertanian, maka bagaimana caranya pertanian ini bisa terangkat melalui pariwisata. Kemudian permasalahan soal agraria bisa juga ditarik ke wisata.
“Jadi ketika sudah ada tagline besar Kota Wisata, maka semuanya harus terintegrasi dengan pariwisata,” kata Ketua DPC Partai Nasdem Kota Batu ini.
Dengan adanya keluhan petani soal harga jual tidak sesuai dengan modal yang dikeluarkan, menurutnya hal tersebut bisa diatasi melalui pariwisata berbasis pertanian. Contohnya seperti petik jeruk yang sudah biasa dan banyak di Kota Batu.
Masalah pariwisata pertanian, Dewa memberi contoh di Ubud, Bali. Melihat petani bercocok tanam, wisatawan harus bayar Rp300 ribu.
“Orang bule lihat kita tanam padi mundur katanya aneh. Bisa dibayangkan, wisatawan sudah disuruh kotor-kotoran menanam padi, masih disuruh bayar Rp300 ribu. Karena itu, kami ingin mewujudkan hal tersebut di Kota Batu,” kata Dewa. (Ananto Wibowo)