Oleh: Dahlan Iskan
BARU kali ini saya ke Tiongkok lewat Bali. Terbang dulu ke Bali. Turun di Guangzhou. Kemarin. Jatuhnya lebih murah. Sedikit. Pun dibanding dari Jakarta ke Guangzhou. Pun ditambah harga tiket dari Jakarta ke Bali.
Awalnya saya heran. Begitu banyak orang kulit putih di ruang tunggu pesawat Nan Hang di gate dua Ngurah Rai. Aneh. Orang kulit putih dari Bali ke Guangzhou. Siapa mereka. Sebegitu menariknyakah Guangzhou bagi orang kulit putih. Sampai sepertiga penumpang Bali-Guangzhou itu berkulit putih.
Saya boarding duluan. Tengah malam. Tempat duduk saya di depan. Dekat koridor. Saya bisa melirik setiap penumpang yang lewat di sebelah kursi saya. Saya lirik paspor orang-orang kulit putih itu. “Oh…,” kata saya dalam hati. Itu paspor Rusia. Lalu ada juga paspor Ukraina.
Saya baru sadar: jarak Moscow-Bali bisa lebih dekat lewat Guangzhou. Tinggal lurus ke tenggara. Transit di Guangzhou. Pasti juga lebih murah. Lebih singkat waktunya.
Lewat Bali juga kami maksudkan agar bisa mendarat di Guangzhou pagi buta. Tidak ada jurusan lain yang bisa tiba di Guangzhou pukul 05.00. Perjalanan ini harus efisien waktu. Kami punya janji pukul 09.00 pagi. Masih sempat mampir sarapan sebentar: bubur ikan, ceker ayam, cakue, dan teh China.
Pukul 10.00 acara di Guangzhou selesai. Kami harus ke Foshan, kota kabupaten sekitar 50 km di selatan Guangzhou. Ada janji di salah satu pabrik di Foshan. Mereka yang menjemput kami di Guangzhou. Bisa nebeng gratis mobil mereka.
Pucuk dicinta Denza yang tiba. Tidak mengira saya dijemput mobil listrik terbaru BYD. Jenis Denza. Yang tahun lalu saya lihat kali pertama di Ningde –kota paling utara provinsi Fujian. Yakni saat saya ke pabrik baterai terbesar di dunia di kota itu. Lalu saya lihat lagi kali kedua di pameran mobil di Jakarta.
Di dua kesempatan itu saya hanya bisa lihat-lihat. Pegang-pegang. Raba-raba. Kali ini saya akan menungganginya. Bentuk Denza sangat mirip Alphard-nya Toyota. Luarnya. Dalamnya. Yang beda adalah teknologinya. Denza ini mobil listrik.
Begitu banyak layar di dalam mobil ini. Pun sandaran tangannya: berlayar. Kecil. Yakni layar sentuh untuk menyetel apa saja: posisi tempat duduk, posisi sandaran, menjengatkan sandaran kaki, memajukan, memundurkan dan… ini dia; sentuhan agar tukang pijat mulai bekerja.
Dengan menyentuh gambar tertentu, sandaran kursi berubah menjadi tukang pijat. Ada tiga pilihan jenis pijat. Tinggal pilih: pijatan atas-bawah, kanan-kiri, atau jenis penggerayangan.
Di samping kursi itu ada lubang. Cukup untuk handphone. Tempat HP. Begitu HP ditaruh di situ otomatis charging.
Sehari penuh kemarin saya bersama Denza. Setelah kunjungan ke pabrik di Foshan kami meneruskan perjalanan ke Shenzhen. Foshan-Shenzhen sekitar dua jam. Tentu makan siang dulu: masakan asli provinsi Hunan. Pedas. Serba ikan air tawar.
“Mulai tahun ini masakan Hunan terpilih sebagai masakan terpopuler di Tiongkok,” ujar pemilik pabrik yang mentraktir makan siang. “Mengalahkan masakan Sichuan,” tambahnya.
Rasanya ia objektif. Ia bukan orang Hunan. Ia asli Henan. Provinsi Hunan, Henan dan Sichuan saling berbatasan. Juga saling bersaing dalam hal pedas-pedasan.
Hunan punya motto ”tidak takut pedas”. Henan punya motto: ”pedas tidak takut”. Motto Sichuan ”takut tidak pedas”.
“Jadi, mana yang paling pedas?” tanya saya.
“Tergantung orang mana yang menjawab. Bagi saya masakan Hunan paling pedas,” jawabnya.
Saya juga sering ditanya: di Indonesia masakan mana yang paling pedas. Padang? Ambon? Manado? Jawab saya setegas Prabowo: Manado!
Saya salah. Yang paling pedas saat ini ada dua: Said Didu dan Roy Suryo!
Sepanjang perjalanan Foshan-Shenzhen saya banyak bertanya soal mobil-mobil listrik di Tiongkok.
“Itu mobil listrik Huawei,” ujar teman dari Shenzhen yang memegang kemudi Denza sambil menunjuk mobil yang melaju di sampingnya. Bentuknya, sekilas, mirip jeep Mercy. Mereknya: Aito. Ini kali pertama saya melihat Aito di jalan raya.
“Naik Aito dari Foshan ke Shenzhen bisa tanpa kemudi,” ujarnya. Di jalur itu garis-garis menanda di aspal sudah memungkinkan untuk mobil swakemudi. Tapi Aito di sebelah itu tetap dikemudikan orang.
Di jalur ini saya juga kali pertama melihat mobil listrik Xiaomi melaju di jalan raya. Terlihat keren full. Bentuknya mirip mobil mewah Porsche buatan Jerman. Juga swakemudi –kalau berani.
“Dua tahun lagi semua mobil listrik produksi Tiongkok bisa swakemudi,” ujarnya.
“Berarti kalau mau beli mobil jangan sekarang? Tunggu dua tahun lagi?” tukas saya.
“Tidak begitu. Itu hanya soal software. Mobil Denza yang sekarang ini pun bisa di update. Seperti update program di HP,” jawabnya.
Denza. Ancaman baru bagi Alphard di Indonesia. (Dahlan Iskan)