Oleh: Dahlan Iskan
Tidak semua ambeien itu wasir. Contohnya teman saya. Lebih 40 tahun ia menderita.
Baru pekan lalu diketahui penyebab sebenarnya: Fistula Ani. Mirip ambeien tapi bukan ambeien.
“Bolehkah nama Anda saya sebut di tulisan saya? Biasanya orang sakit ambeien malu namanya disebut,” tanya saya.
“Untuk apa malu. Saya justru ingin sekali membagi kisah penderitaan ini. Agar jangan ada yang seperti saya,” jawabnya.
Namanya Nasaruddin Ismail. Kelahiran Bima, NTB. Pun istrinya. Sampai SMA masih di Bima.
Begitu lulus UINSA Surabaya ia langsung jadi wartawan Jawa Pos. Sampai pensiun.
Selama itu pula ia tersiksa. Seperti ambeien. Akhirnya ia tidak kuat lagi naik sepeda motor. Ia ingin berhenti bekerja.
Saya tidak mau ia berhenti. Saya minta agar ia beli mobil biar pun kelas Suzuki Carry.
Naik mobil pun lama-lama tidak kuat juga. Yang pernah mengalami wasir akan bisa merasakan siksaannya seperti apa. Ia seperti putus asa. Tidak kuat atas penyakitnya.
Nasaruddin tidak hanya rajin cari berita. Ia juga penggerak kepedulian sosial. Utamanya di saat ada bencana alam.
Di mana ada bencana di situ ada Nasaruddin –bersama dengan tim dari TNI-AL atau TNI-AD.
Tahun 1984 ia terpaksa operasi ambeien. Tapi setelah itu sakitnya datang lagi. Muncul bisul di anus. Bisul di pantat saja bukan main sakitnya. Ini di anus.
Dilajukanlah operasi bisul. Sembuh. Sementara. Lalu muncul lagi sakit serupa. Dilakukan lagi operasi kecil di anus. Reda. Juga tidak lama. Kambuh lagi.
Bulan lalu ia terpaksa ke dokter. Umurnya sudah 61 tahun. Sudah lama pensiun dari Jawa Pos.
Dokter terakhir itulah yang menganjurkan Nasaruddin ke dokter Bambang Soegianto. Sang dokter juga menderita ambeien. Penyakitnya beres ketika dokter itu jadi pasien dokter Bambang.
Nasaruddin pun ke dokter Bambang. Curiga. Kok tidak kunjung sembuh. Dilakukanlah pemeriksaan secara khusus.
Bambang sudah sering punya pasien ambeien yang tidak kunjung sembuh. Pun setelah berobat ke Singapura, Thailand, dan Penang, Malaysia.
Ditemukanlah Nasaruddin bukan menderita karena ambeien. Ia kena penyakit fistula Ani.
Menulis ”fistula”-nya boleh pakai huruf kecil, tapi Ani-nya harus pakai A huruf besar. Pertanda bahwa itu nama orang –Anda sudah tahu siapa dia.
Gejala fistula Ani memang mirip dengan ambeien. Seperti bisul. Tapi jauh di dalam anus. Bukan seperti ambeien yang di bibir anus.
Maka untuk menyelesaikannya tidak bisa hanya mengoperasi bagian ”mulut anus”. Harus dibongkar sampai ke dalam. Semua jaringan yang mati atau bernanah harus diambil lewat operasi bagian dalam anus.
Dokter Bambang menceritakan hasil pemeriksaannya itu. Lalu memberikan nama-nama pasien lain yang mengalami fistula Ani. Mereka sembuh di tangan dokter Bambang. Lewat operasi.
Nasaruddin pun berbicara dengan mereka. Ada tiga orang yang ia ajak bicara lewat HP. Salah satu di antaranya sudah berobat ke Thailand. Satu lagi pernah berobat ke Penang. Di sana dioperasi. Tapi tidak sembuh. Sakitnya muncul lagi. Setelah dioperasi dokter Bambang barulah beres.
Dokter Bambang seumuran dengan saya: 73 tahun. Hanya beda satu bulan. Ia tampak sangat sehat. Badannya langsing, rambutnya masih hitam.
Saya bertemu dokter Bambang saat menjenguk Nasaruddin di RS Adi Husada Surabaya. Dokter Bambang lagi visitasi. Saya pun ngobrol panjang.
Ia lahir di Rogojampi, nun di wilayah Banyuwangi. Saat SMP Bambang sekolah di Zhong Zhong Surabaya –sekolah Tionghoa yang kelak di tahun 1965 ditutup oleh Orde Baru.
Akhirnya Bambang lanjut ke SMA Negeri 3 Surabaya. Ia tidak canggung kumpul dengan siswa yang umumnya pribumi.
Ayahnya adalah pejuang. Sang ayah ikut berjuang bersama laskar di perang kemerdekaan. Sang ayah menerima piagam sebagai pejuang.
Lulus SMA Bambang disekolahkan ke Jerman. Ia masuk fakultas kedokteran di kota Dortmund. Di sana ia mendalami ilmu bedah, termasuk Ambeien. Bahkan juga transplantasi rambut.
Pulang ke Indonesia Bambang harus menjalani masa penyesuaian ijazah. Di FK Undip Semarang. Tanpa itu ia tidak bisa bertugas sebagai dokter di Indonesia.
Zaman itu masih begitu. Di zaman Menkes Budi Sadikin saat ini masa penyesuaian seperti itu dihapus. Dokter lulusan luar negeri bisa langsung jadi dokter di Indonesia.
Dokter Bambang akhirnya menjadi dokter tentara. Statusnya tetap sipil. Tidak punya pangkat militer.
Di usia 73 tahun dokter Bambang masih buka praktik di Surabaya.
Tidak hanya ambeien yang ia tangani. Juga transplantasi rambut.
Ia pun menunjukkan foto tokoh nasional siapa saja yang tidak lagi botak. Salah satunya saya kenal baik.
Empat puluh tahun Nasaruddin menderita ambeien yang ternyata bukanlah ambeien.(Dahlan Iskan)