MALANG POST – Adanya banyak vaksin, bukan berarti pemerintah sengaja mengada-adakan dulu penyakit. Tapi justru ini sebagai upaya pencegahan.
Bahkan pemerintah, juga mengupayakan vaksin-vaksin gratis, supaya anak terhindar dari penyakit mematikan. Sekaligus menghentikan penularan.
Penegasan itu disampaikan Ketua Divisi Tumbuh Kembang FKUB RSSA Malang, Dr. dr. Ariani, Sp. A(K), M., ketika menjadi narasumber talkshow di program Idjen Talk. Yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Sabtu (21/9/2024) kemarin.
Katanya, banyak jenis vaksin yang berhak diterima anak. Diantaranya seperti vaksin polio, tetanus, gondongan dan kanker leher rahim.
“Memang setiap anak berbeda responnya, setelah menerima vaksin. Ada yang mengalami demam atau bahkan tidak. Untuk anak anak yang merasakan demam, itu justru menandakan kalau tubuh merespon,” tambahnya.
Demam tersebut, ujar dr. Ariani, akan dirasakan anak maksimal 3 hari. Orang tua supaya tidak perlu khawatir berlebihan. Anak bisa diberikan paracetamol, atau kalau ragu bisa di konsultasikan ke dokter, untuk disarankan beberapa hal.
Bagi anak-anak yang tidak terimunisasi dengan lengkap, sebutnya, justru bisa mengarah pada stunting.
“Hubungannya anak yang tidak terimunisasi dengan stunting, ketika ada satu penyakit yang belum tercegah dengan vaksin, seperti contohnya difteri. Akan mempengaruhi tumbuh kembang anak.
“Sudah bukan saatnya orang tua cemas berlebihan soal imunisasi anak, dari sumber-sumber yang tidak bertanggung jawab.”
“Karena di tengah beberapa mitos masyarakat soal imunisasi anak, salah satu yang dikenal, pasca imunisasi anak bisa demam,’’ katanya.
Itulah sebabnya, dr Ariani selalu mengedukasi masyarakat, untuk berkenan melanjutkan vaksin jadi tidak hanya sekali, supaya kekebalan tubuh efektif. Karena akan percuma kalau hanya dilakukan sekali.
Sementara itu, dosen Sosiologi FISIP Universitas Brawijaya, Astrida Fitri Nuryani menjelaskan, masih adanya orang tua yang enggan melakukan imunisasi untuk anaknya, karena beberapa faktor. Salah satunya beredarnya teori-teori konspirasi.
Astrida juga menjelaskan, dengan akses digital yang sangat mudah dan luas, tanpa diimbangi literasi digital, akan banyak teori-teori konspirasi yang didapat masyarakat.
Salah satu teori konspirasi itu, sebutnya, perusahaan farmasi yang melakukan kerjasama dengan pemerintah, untuk sengaja membentuk penyakit.
“Selain itu, pengaruh orang terdekat seperti keluarga yang dipercaya, juga jadi alasan orang tua enggan melakukan imunisasi lengkap untuk anaknya,” tandasnya. (Wulan Indriyani-Ra Indrata)