MALANG POST – Langkah PKB yang menurunkan salinan surat rekomendasi lebih awal kepada HM Sanusi dan Hj Lathifah Shohib, cukup mengejutkan semua pihak. Meskipun surat rekomendasi itu baru sebatas salinan, namun tetap saja menjadi tanda bahwa restu PKB sudah tegas.
Keluarnya rekomendasi kepada Sanusi itu seakan menjadi ‘tamparan’ bagi PDI Perjuangan mengingat selama ini Sanusi merupakan kader partai banteng moncong putih.
Kabar bahwa PDI Perjuangan yang akan segera menurunkan rekomendasi untuk Sanusi, malah didahului oleh PKB.
Direktur Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik (PuSDeK) Asep Suriaman melihat, diakui atau tidak PKB dan Sanusi sejatinya memiliki ikatan batin yang tidak bisa dilepaskan begitu saja bila menilik sejarah terdahulu. Sebelum berseragam PDI Perjuangan, Sanusi merupakan kader tulen PKB.
“Adagium, bahwa sejauh-jauhnya merpati terbang, pasti akan kembali ke sangkarnya, kira-kira seperti itulah suasana kebatinan dan sikap politik yang ingin ditunjukkan Pak Sanusi dengan menerima rekom fotocopy dari PKB kemarin (Kamis 8/8-red),” kata Asep, Jumat (9/8/2024).
Asep juga menilai PDI Perjuangan saat ini seperti kehilangan keberanian untuk mengambil keputusan. Menurut Asep, PDI Perjuangan seharusnya malu karena PKB telah mengangkangi mereka dengan menurunkan rekomendasi lebih dulu kepada salah satu kadernya, HM Sanusi.
“Seharusnya, pada Pilkada 2024 ini, PDI Perjuangan yang memiliki genetik sebagai partai petarung mengambil langkah lebih berani dari sikap politik PKB saat di Pilkada 2020 lalu. Dimana saat itu setelah ditinggal Sanusi menyeberang ke PDIP, PKB tetap memilih melawan Sanusi dengan mengusung kader sendiri. Sehingga melihat gen politik PDIP sebagai partai yang melawan, bisa menyiapkan kader terbaiknya, untuk melawan pasangan Sanusi-Lathifah dalam Pilkada nanti. Sehingga di Kabupaten Malang tidak ada calon tunggal,” tegas Asep.
Lebih jauh, pria yang selama ini dikenal sebagai aktivis pendidikan Kabupaten Malang itu menyebutkan, dengan turunnya rekomendasi PKB kepada Sanusi-Lathifah ada dugaan pembuatan skenario bahwa pasangan tersebut akan melawan kotak kosong.
Ada tiga analisa yang diungkapkan Asep terkait dugaan itu. “Pertama dari sisi regulasi, pembentukan koalisi dengan threshold tinggi tersebut memang menyulitkan calon-calon kepala daerah yang berpotensi dalam menggalang dukungan,” ungkapnya.
Kemudian yang kedua, kata Asep, pilihan calon tunggal dalam Pilkada Kabupaten Malang tentu merupakan perspektif Parpol dan calon akan memiliki ongkos yang lebih murah, karena ruang kontestasi terbatas dan peluang kemenangan tinggi.
“Dan yang terakhir, skenario itu jelas mengebiri partisipasi politik masyarakat dalam pencalonan ataupun malah membuat skeptis kepada masyarakat luas akan skema yang tidak jantan ini, calon tunggal berpotensi menang mutlak tanpa perlawanan yang keras. Serta malah mendorong gerakan publik yang bisa menguatkan posisi kotak kosong seperti cerita Pilkada Makassar tahun 2018 lalu,” jelasnya.
Asep pun menyampaikan, bila benar skenario tersebut dijalankan, bukan tanpa risiko. “Jadi, skema kotak kosong atau bumbung kosong juga jangan dianggap sesuatu hal yang mudah dilakukan, malah berpotensi destruktif bagi kondisi politik yang sebenarnya sudah cukup baik ini,” pungkasnya. (Sugeng Irawan)