MALANG POST – Bronkopneumonia disebabkan virus atau jamur. Menyerang jaringan paru paru. Anak-anak sebagai kelompok yang paling rentan kena.
Salah satunya karena residu asap rokok, yang memang menyebarkan efek negatif sampai tiga jam.
Dokter Casemix RSU Brimedika, dr. Gita Putri Santoso mengatakan hal tersebut, saat menjadi nara sumber talkshow di program Idjen Talk. Yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Jumat (26/7/2024).
“Banyak yang belum tahu, asap rokok tidak akan hilang secara langsung ketika selesai merokok. Tapi bisa menempel pada baju, menyisakan residu dan bertahan sampai sekitar 3 jam.”
“Hal itu membuat paparan zat yang terkandung bisa menyebabkan masalah kesehatan,” katanya.
Artinya, lanjut dr Gita, meskipun sudah cuci tangan dan ganti baju juga belum bisa memastikan residu hilang. Karena dari napas sisa rokok yang dikeluarkan ketika berbicara juga berpengaruh.
Ketua Divisi Tumbuh Kembang FKUB RSSA Malang, dr. Ariani menambahkan, banyaknya paparan asap rokok, memicu berbagai macam penyakit muncul. Salah satunya bronkopneumonia.
“Pneumonia adalah the silent killer. Ada 1,3 juta anak meninggal dunia setiap tahunnya karena penyakit paru-paru. Angka itu menyumbang 13 persen penyebab kematian pada anak, terutama balita,” tambahnya.
Meski tidak semua asap rokok, jelasnya, langsung menyalurkan efek negatif dengan cepat. Tapi rokok mengandung puluhan zat kimia yang bersifat karsinogenik.
Pada setiap orang, efek yang diberikan berbeda-beda. Tergantung imunitas dan status gizinya.
Karenanya, Meski orang tua punya kebebasan untuk memilih tempat umum yang akan dikunjungi, yang terbebas dari asap rokok. Tapi menurut dr Ariani, menghindari jauh lebih baik.
“Edukasi soal rokok bisa diberikan pada anak sedini mungkin. Bahayanya pada kesehatan, perilaku positif dalam keluarga juga bisa menjadi contoh untuk anak menghindari penggunaan rokok,” sebutnya.
Ketika seorang anak secara terus menerus terpapar asap rokok, ada risiko tinggi kelompok rentan itu terkena penyakit kronis. Seperti PPOK, TBC hingga penyakit jantung.
Bahkan masalah kesehatan juga bersifat permanen seumur hidup. Efek itu mulai dirasakan ketika anak dewasa.
Sementara itu, Medical Sosiolog, Dr. Rinikso Kartono mengatakan, masih banyak orang tua yang toleran terhadap rokok. Sehingga anak cenderung mencontoh.
Tidak hanya itu, menurut Rinikso, adanya pergeseran makna merokok. Seperti laki-laki tidak maskulin kalau tidak merokok. Atau rokok dijadikan simbol kemewahan di kalangan remaja, menjadikan jumlah perokok aktif semakin banyak.
Bahkan kata Rinikso, dia juga sering menemukan dari kalangan elite, membiarkan anaknya merokok sejak usia SD. Tentu hal itu sangat disayangkan.
Jadi, keluarga ikut berperan meminimalisir timbulnya perokok baru. (Faricha Umami-Ra Indrata)