MALANG POST – Kebijakan pemerintah melalui Peraturan Nomor 21 Tahun 2024, terkait Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai banyak polemik di masayarakat. Program ini digadang-gadang dapat menjadi jalan keluar untuk masyarakat.
Namun, Rachmad Kristiono Dwi Susilo, S.Sos., MA., Ph.D., dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) justru menilai program ini terlalu normatif dan terkesan terburu-buru.
“Program ini berlaku bagi pegawai negeri maupun swasta dengan sistem potongan gaji. Bagi masyarakat berpenghasilan pas-pasan, program ini tentu sangat membebani,” ujar Rachmad Kristiono Dwi Susilo, Rabu (12/06/2024).
Menurut sistematis Tapera, gaji pegawai akan dipotong sebesar 3% untuk simpanan perumahan. Sebanyak 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5 persen ditanggung oleh pekerja itu sendiri. Dana yang terkumpul dalam Tapera tersebut, nantinya dapat digunakan untuk membantu peserta membeli rumah pertamanya.
“Namun, kebutuhan terhadap perumahan setiap orang itu berbeda-beda. Belum tentu masyarakat MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) belum punya rumah. Program ini seakan-akan menjadi kebijakan yang memaksa, tidak boleh tidak. Padahal, tidak semua perusahaan mau, apalagi perusahaan yang tidak terikat dengan karyawan langsung,” ujarnya.
Lebih lanjut, Rachmad menyebut terdapat dua hal yang harus ditinjau ulang oleh pemerintah sebelum merealisasikan Tapera. Pertama, pemerintah harus memastikan berapa banyak orang yang membutuhkan program Tapera. Pasalnya, Rachmad menilai pemerintah belum memiliki data yang akurat mengenai hal tersebut.
“Lebih baik program ini bersifat sukarela. Terlebih, pihak eksekutif belum juga memberikan alasan mendasar mengenai model perencanaan Tapera yang lengkap. Sebenarnya, jika ditinjau dari jangka panjang, program ini bagus agar semua masyarakat memiliki rumah. Selama implementasi prosedur dan prakteknya tidak melenceng,” tegasnya.
Selain itu, banyak juga masyarakat yang beranggapan bahwa program ini belum realistis. “Anggap saja, dua tahun juga belum mesti dapat rumah. harus lebih dari 50 tahun terlebih dahulu. Sehingga, banyak yang menyebut ini hanya dikaitkan dengan program bisnis pemerintah,” jelas Rachmad.
Di sisi lain, cara paling gampang untuk memberikan alternatif perumahan menurut Rachmad adalah pemanfaatan lahan milik negara yang bisa dibangun menjadi rumah susun dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Misalnya saja dengan memperkuat program bedah rumah dan bantuan untuk rumah tidak layak huni seperti yang telah banyak dilakukan oleh pemerintah. Hal ini juga bisa diimbangi dengan banyaknya investasi yang dimiliki oleh negara. Sehingga, subsidi untuk masyarakat kurang mampu juga akan tercukupi.
Terakhir, ia menyebut bahwa dengan berbagai kontroversi yang menyelimuti, Tapera memang harus dievaluasi lebih lanjut. “Program ini memang memiliki tujuan mulia untuk membantu masyarakat memiliki rumah, namun pelaksanaan dan implementasinya harus lebih matang dan realistis. Pemerintah diharapkan mampu memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat agar program ini dapat berjalan sesuai harapan,” pungkasnya. (M Abd Rahman Rozzi)