Oleh: Dahlan Iskan
Pun dalam perjalanan dari Los Angeles ke San Fransisco: KEvin Herjono yang pegang kemudi. Mungkin Kevin juga takut disetiri orang tua seperti saya.
LA-SF bagi Kevin sudah seperti Jakarta-Semarang. Lewat jalan mana pun sudah hafal. Apalagi ia sesekali juga harus berkantor di Lucas Film –di bawah grup Walt Disney– di SF.
Perjalanan darat LA-SF lima jam. Kalau tidak mampir-mampir. Atau 12 jam kalau ingin lewat jalur paling indah: jalur sepanjang pantai.
Banyak jemaah jalur LA-SF yang pilih menempuhnya dalam tiga hari: mampir satu malam di salah satu pantai dan wajib satu malam lagi di pantai Carmel. Gak usah pilih-pilih. Di kota kecil yang mana pun pasti indah pantainya.
Saya pilih yang satu malam singgah di Carmel. Saya berjanji tidak akan menikmati pantainya. Biar mereka yang ke pantai.
Keinginan saya cuma satu: memotret lapangan golf Pebble Beach. Lalu mengirimkannya ke Robert Lai.
Anda sudah tahu keistimewaan lapangan golf Pebble Beach. Robert pasti jingkrak-jingkrak di Singapura sana saat melihat foto itu. Atau menyesal berat: mengapa tidak ikut muhibah kali ini.
Robert –yang merawat saya sebelum, selama, dan sesudah operasi ganti hati– pemuja lapangan golf di mana pun.
Waktu saya sebulan keliling Inggris selama sebulan, sebelum Covid, saya perlukan mampir ke lapangan golf St Andrew di Skotlandia utara. Yang ia bilang terbaik di dunia. Di situ Robert belajar manajemen lapangan golf. Waktu itu ia diminta almarhum Lee Kuan Yew memimpin satu lapangan golf di Singapura. Ia harus belajar dulu di “kampus” terbaik dunia.
Pebble Beach Golf di Carmel termasuk yang terbaik itu. Saya baca papan prestasi di situ. Saya lirik etalase butik-butik yang jual apa saja yang terkait golf. Saya baca harganya: dompet langsung mengempis.
Saya percaya kehebatan Pebble Beach, meski bagi saya terasa sama saja: enak dipandang sulit dipegang.
Kota pantai Carmel sendiri memang istimewa. Anda sudah tahu bintang film Hollywood siapa saja yang punya rumah di sini.
Hari itu sudah terlalu senja untuk ke golf Pebble Beach. Kami pilih kya-kya dulu seputar kota. Langit senja sangat cerah. Udara sejuk. Bikin perut kian lapar.
Maka sebelum menyaksikan sunset di pantai Carmel, kami makan dulu. Kevin pilihkan kami restoran Jepang: Toro. Dekat pantai. Dapat meja di luar. Justru lebih indah. Bahwa terlalu sejuk, pelayan menyalakan obor dari gas di dekat meja makan. Duh, romantisnya –kalau saja kami masih muda.
Melihat saya dan Kevin ngobrol dalam bahasa Jawa, Si cantik di resto itu mendekat: “Dari Indonesia ya?” tanyanyi dalam Bahasa Indonesia.
Dia ternyata anak Jogja asal Lampung. Kuliah di dekat kota ini. Sambil bekerja. Lalu dia menyajikan sepiring sushi lagi, sushi lain yang tidak kami pesan. “Ini hadiah dari chef kami. Orang Indonesia juga,” katanyi.
Begitu kami meninggalkan Toro, chef itu mengejar: ia memperkenalkan diri. Anak muda. Asal Jakarta. Namanya: Mohammad. Ia ternyata sudah keliling Amerika. Jadi chef resto Jepang di kota-kota besar di sana.
Di kota sekecil dan sejauh ini pun ada putra kita yang tidak mau jadi generasi penyesal diri.
Sebagai kota wisata, pukul 06.30 Carmel masih ngorok. Enak-enaknya tidur. Saya jadi leluasa senam dansa sendirian di taman depan hotel.
Satu jam kemudian pun pada belum bangun. Saya harus disiplin olahraga. Perjalanan ini melelahkan.
Kalau nuruti perasaan rasanya begitu tiba dari satu rute langsung ingin tidur. Saya paksakan olahraga dulu setiap sebelum mandi malam. Pun ketika masih di gurun. Selalu setengah jam sebelum tidur. Lalu 45 menit keesokan paginya. (***)