Oleh: Dahlan Iskan
Menjelang mendarat di New York saya bertekad: saatnya hanya akan makan sedikit dan ‘bersih’ selama di Amerika. Sekalian menghemat. Tidak ada lagi kewajiban makan tiga kali sehari –melahap masakan istri yang memang enak dan selalu nambah.
Pagi saya bertekad hanya akan makan tomat dan oatmeal. Siang sandwich. Malam roti dan sayur brokoli.
Kualitas bahan makanan dan air di Amerika terjaga. Juga udaranya. Ini saatnya bersih-bersih pencernaan. Juga bersih-bersih paru-paru.
Istri saya sembuh dari asma ketika tiga bulan tinggal di Amerika –sambil jaga anak kala itu.
Lia Suntoso sudah menunggu di kedatangan. Bersama anaknya, Erick. Rupanya dia tidak ikuti saran saya: jangan ke bandara dulu.
“Kalau proses imigrasi sudah selesai akan saya WA,” pesan saya begitu pesawat mendarat dari Haneda. Toh rumahnyi hanya sekitar 15 menit dari bandara JFK New York.
“Saya sudah di sini,” kata Lia. Dia menyertakan foto diri di depan tanda kedatangan.
“Masih antre di pasporan. Panjang,” jawab saya.
Saya pernah satu jam di antrean seperti ini di San Fransisco. Lebih 200 orang di depan saya. Kasihan kalau Lia harus lama menunggu. Ini sudah pukul 11 malam. Dan lagi parkir di New York bisa habis Rp 600.000 untuk lebih satu jam.
Saya pun menghitung antrean.
“Masih sekitar 40 orang di depan saya”.
“Itu mah pendek. Cepat,” jawabnyi.
Giliran saya pun tiba. Tidak sampai 5 menit di loket imigrasi. Tidak pakai periksa sidik jari dan jempol. Hanya satu pertanyaan: akan berapa lama tinggal di Amerika.
“Sudah beres,” tulis saya ke WA Lia.
“Semoga antre ambil bagasinya cepat,” jawab Lia.
“Saya tidak punya bagasi. Bisa langsung keluar”.
Saya memang hanya menyeret tas kecil. Ini memasuki musim panas. Tidak perlu banyak bawa baju tebal. Hanya bawa satu oleh-oleh kopi Gayo Aceh untuk John Mohn.
Dari jauh saya lihat Lia. Dia bawa tentengan tas kresek besar. Saya lambaikan tangan. Dia juga melambai. Setelah pelukan selamat datang dia menyerahkan tas kresek itu.
“Ini makan malam Anda,” kata Lia.
“Kok banyak sekali?”
“James yang masak”.
” Hah? James masak?”
“Selalu”.
Lia sudah pilihkan saya hotel dekat rumahnyi. Hanya sepelemparan roti keras. Di kamar, saya buka tas kresek itu. Ampuuuuun. Isinya banyak sekali. Masakan Indonesia semua!
Ada nasi uduk. Sambal goreng tempe. Lengkap dengan kacang tanah, kentang dan mente. Sambal kacang. Tahu goreng. Tempe goreng tepung. Kerupuk. Bawang goreng. Kentang iris serambut dicampur irisan-irisan bawang putih. Masih ada bihun goreng ditaburi irisan lembut wortel. Dua botol air putih. Jeruk.
Saya tidak percaya itu masakan James F. Sundah, suami Lia. Pasti beli dari restoran Indonesia di Queens. Aroma kamar pun semerbak dengan masakan Indonesia. Menghindari masakan istri justru dapat “kutukan” masakan James.
Saya gletakkan masakan itu di atas meja. Saya pun mandi. Setelah tiga bulan mandi air sumur di pedesaan Mojokerto, malam itu saya mandi air Amerika: yang kualitasnya bisa langsung diminum.
Saya pilih langsung tidur. Toh saya perlu makanan untuk sarapan besok. Masakan James itu gratis. Daripada 70 dolar di cafe hotel.
Bangun tidur saya harus pilih komentar pilihan di Disway. Lalu menulis ‘Michael Jackson This Is It’ untuk edisi kemarin. Senam. Sendirian. Satu jam. Kamar ini cukup luas untuk senam. Udara di luar 18 derajat Celsius. Gerimis.
Waktunya sarapan. Dengan takut-takut saya cicipi sambal goreng tempe itu. Wow! Kaget. Enak sekali. Sangat Indonesia. Setara rasa dengan masakan istri.
Lalu saya cicipi nasi uduknya. Juga lezat. Tempenya. Tahunya. Bihunnya. Semua enak sekali. Tak terasa semua makanan itu ludes!
Sorenya, sepulang dari ruang pengadilan tempat Donald Trump disidangkan, saya bertemu James. Di Queens. Makan malam. Di resto Bamboo –milik wanita alumni St. Louis Surabaya.
“Hi James. Benarkah itu Anda yang masak? Saya gak percaya. Enak luar biasa”, kata saya.
“Masak, menciptakan lagu, dan merancang desain arsitektur itu sama. Harus pakai hati,” jawab James.
Sialan. Jawaban itu enak sekali untuk dikutip sebagai direct quotation. Wartawan suka dengan jawaban seperti itu, hanya kadang diabaikan.
Di samping mencipta lagu James Anda sudah tahu: ia seorang arsitek. Masuknya di ITB, lulusnya di Taruma Negara.
Masakan, lagu dan desain arsitektur itu harus saling menyempurnakan. Hilang salah satunya hidup tidak akan lengkap. Itu masih kata-kata James.
“Makanan untuk kenikmatan mulut. Lagu untuk kenikmatan telinga. Desain arsitektur untuk kenikmatan mata,” kata James.
Tapi kenapa suka di dapur?
“Tempat yang paling hangat adalah di dapur,” jawabnya. Saya pun terbahak. Benar sekali. Apalagi di musim dingin.
James pintar masak apa saja. Pun soto. Ketoprak. Gado-gado. Yang belum bisa: rawon. Saya pun ingin menduetkan James dengan istri saya. Suatu saat.
Masak hanya untuk suami istri itu punya kelemahan. Sulit menyiapkan bahan. James hanya berdua dengan istri. Anaknya sudah seperti budaya Amerika: dewasa harus mandiri.
Sang anak sudah 26 tahun. Ganteng. Gagah. Bulan depan akan pindah ke Austin, Texas.
“Kalau pas kangen masakan Indonesia harus cari teman untuk menghabiskannya,” kata James.
Kalau bulan puasa lebih mudah. Bisa ajak teman-teman Muslim berbuka bersama.
Imam Shamsi Ali, tinggal tidak jauh dari rumah James. Shamsi Ali, ulama asal Makassar itu, imam di masjid Jalan Jamaica, Queens.
James lebih sehat dari yang saya bayangkan. Rambutnya tetap panjang, bicaranya lirih, badannya terjaga langsing.
Saya pun ke rumahnya. Khas rumah seniman! Berantakan! Itu karena James baru pulang dari Camino. Selama 10 hari. Bersama Lia dan anaknya. Bagasi dari Camino masih berserakan.
Selama ini begitu banyak tokoh Indonesia yang pilih tidur di tengah kekacauan di rumah James. Kali ini saya. (***)