Oleh: Dahlan Iskan
Satu lagi langkah besar Presiden Jokowi di masa ‘injury time‘: menandatangani UU Daerah Khusus Jakarta –hilang ‘I’-nya.
Ini juga UU yang sangat cepat proses pengesahannya di DPR –prestasi politik Jokowi yang tidak kalah dengan jalan tol.
Dalam UU baru itu disebutkan status Jakarta setelah tidak lagi jadi ibu kota negara. Yakni menjadi kota global pusat ekonomi Indonesia.
Salah satu yang paling penting sebenarnya adalah: otonomi apa yang diberikan ke Jakarta.
Dengan sebutan tetap sebagai daerah khusus harusnya punya kekhususan itu. Agar gubernur Jakarta bisa berbuat banyak tanpa terikat aturan dari pusat.
Diskusi publik soal kekhususan yang diinginkan Jakarta tidak terlihat ramai.
Tidak banyak ide yang muncul.
Tidak banyak keinginan yang dikemukakan.
Sepi.
Pun sampai UU itu disahkan dengan cepat.
Salah satu yang terbaca dalam pasal-pasal UU DKJ hanyalah soal transportasi. Meski tidak tegas tapi disebutkan soal pembatasan kendaraan bermotor di Jakarta.
Berarti tokoh yang ingin jadi calon gubernur Jakarta harus baca baik-baik UU baru ini. Apa maksud sebenarnya dari pasal itu.
Apakah gubernur bisa membatasi jumlah kendaraan bermotor dengan caranya sendiri? Atau harus mendapat persetujuan DPRD?
Maka harus ada studi: untuk panjang jalan di Jakarta sekarang, rasionalnya mampu menampung berapa juta kendaraan. Berarti kelebihan berapa juta. Mau diapakan.
Salah satu cara yang terbaca di media: membatasi usia kendaraan. Usia lebih 15 tahun tidak boleh lagi melewati jalan di Jakarta. Misalnya.
Bagi yang punya kendaraan berumur 14 tahun tentu keberatan. Jumlahnya besar. Mereka bisa mengatakan pemerintah tidak pro-rakyat.
Yang jelas: ganjil genap tidak menyelesaikan masalah kemacetan Jakarta –hanya mengurangi.
Di Beijing tiga cara dijalankan sekaligus: jumlah mobil baru dibatasi, mobil luar kota tidak boleh masuk Beijing dan ganjil-genapnya dua angka: angka pertama dan angka terakhir.
Di Shanghai juga begitu.
Di London mobil luar kota juga dilarang masuk London.
Di Singapura tidak ada larangan mobil dari daerah masuk Singapura –karena Singapura tidak punya daerah.
Di balik tidak adanya kemacetan lalu lintas di Singapura itu, sebenarnya ada kekejaman kepada rakyatnya yang luar biasa –untuk ukuran kita.
Harga mobil di Singapura mahal sekali. Toyota Corolla harganya bisa mencapai Rp 2,5 miliar. Tepatnya 170.000 dolar Singapura. Bandingkan dengan harga Corolla di sini. Paling mahal Rp 630 juta.
Kalau pun Anda punya uangnya, belum tentu Anda bisa beli mobilnya. Anda tidak bisa seperti di sini: ke toko mobil dengan membawa uang. Lalu pulang membawa mobil baru.
Di Singapura, untuk ke toko mobil Anda harus juga punya sertifikat bahwa Anda punya hak membeli mobil. Tidak semua orang bisa dapat sertifikat itu. Harus ikut lelang.
Lelang sertifikat itu diadakan sebulan dua kali: tiap hari Senin minggu pertama dan Senin minggu ketiga.
Setiap kali hanya ada beberapa sertifikat yang dilelang. Siapa penawar tertinggi hari itu ia akan dapat sertifikat.
Ada lima kategori lelang sertifikat. Lelang kelas A sampai kelas E.
Kelas A adalah lelang untuk mendapat sertifikat hak beli mobil ukuran 1600 cc ke bawah. Kelas B: cc yang lebih tinggi. Dan seterusnya. Sampai kelas mobil mewah seperti Ferrari.
Maka, di Singapura, untuk membeli mobil Anda harus membeli sertifikat dulu. Lalu membayar pajak. Lalu membeli mobil.
Kekejaman berikutnya: sertifikat itu hanya berumur 10 tahun. Setelah itu mati.
Itu bukan hanya sertifikat hak membeli mobil, tapi merangkap sertifikat hak menjalankan mobil di jalan raya Singapura.
Maka setelah 10 tahun, biar pun mobil Anda masih bagus, sertifikatnya mati. Pilihannya dua: Anda ikut lelang lagi untuk memperpanjang sertifikat atau ikut lelang sertifikat membeli mobil baru.
Untuk kelas 1600 cc ke bawah orang Singapura umumnya pilih ikut lelang beli mobil baru. Mobil lamanya dibuang. Tapi untuk mobil mewah umumnya pilih ikut lelang perpanjangan sertifikat.
Ke mana membuang mobilnya?
Ada agen penampungan mobil bekas. Sang agen akan mengekspornya ke negara yang mau menerima. Atau dipereteli, diambil spare part-nya.
Apakah Anda masih bisa dapat uang dari agen penampung mobil bekas? “Hampir 0,” ujar sahabat Disway di sana.
Di balik ketertiban lalu-lintas Singapura ternyata begitu kejam peraturan yang diterapkan.
Anda mau Jakarta seperti Singapura? (***)