Malang Post – Dalam talkshow di program Idjen Talk, yang mengambil tema: Menyikapi Polemik Film Horor Berbau Religi, Kaprodi Sosiologi FISIP UMM, Luluk Dwi Kumalasari, menyampaikan, film bisa dianggap sebagai ekspresi seni pembuat film.
“Tapi sebagai audiens, tentu memiliki konsep tersendiri melihat isi film. Karena itu, dibutuhkan kedewasaan dalam menyikapi tontonan. Termasuk mendampingi anak,” katanya saat menjadi narasumber di acara yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Jumat (29/3/2024).
Menurut Luluk, nilai dalam konteks religius sangat universal dan harus dikembalikan pada kebenaran.
“Jangan sampai karena mengejar keuntungan, akhirnya memutar balikkan fakta dan berdampak pada mengubah nilai yang selama ini dipercaya publik,” sebut Luluk.
Selain itu, Luluk juga berpesan, agar para orangtua bijak mendampingi anak dalam memilih film dan menonton film. Karena remaja dan anak-anak, masih belum bisa berpikir rasional.
Dalam pandangan Penulis dan Sutradara, Sudjane Ken, genre horor di Indonesia memiliki pangsa audiens paling banyak. Dibandingkan genre film lainnya.
“Karena itu, banyak pelaku industri film saat ini yang berbondong-bondong membuat film horor, termasuk yang berbau agama,” jelasnya.
Kata Ken, sebagai pelaku industri film, tentu keuntungan dan bagaimana menarik audien sebanyak-banyaknya, menjadi hal yang harus dilakukan. Karena itu media promosi seperti poster film juga dibuat semenarik mungkin.
Sementara itu, Lembaga Seni Budaya Olahraga Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Malang, Yoni Prawardayana menyampaikan, kemunculan film horor tahun 2020 sudah mengarah ke semacam desentralisasi agama.
Tapi sebenarnya, hal ini sudah mulai terlihat sejak tahun 90an, dengan adanya globalisasi. (Anisa Afisunani – Ra Indrata)