Oleh: Dahlan Iskan
”Pengalaman membentuk ekspektasi”.
Untuk kembali ke Makkah saya siap mental dapat kursi pojok paling belakang tanpa jendela. Toh saya masih membawa jendela 7-i ke mana-mana.
”Bahagia adalah mendapatkan kenyataan melebihi ekspektasi”.
Hari itu saya bahagia sekali: dapat kursi seperti yang saya inginkan. Nomor 6. Sisi kanan. Saya menghindari sisi kiri. Perjalanan bus ini 13 jam. Ke arah barat. Matahari di sisi kiri.
Begitu masuk bus kebahagiaan saya bertambah-tambah: penumpangnya hanya enam orang. Padahal jendelanya 16. Berarti saya sendiri bisa dapat 10 jendela. Penumpang lain cukup saya beri masing-masing satu.
Saya langsung duduk bersila di kursi itu. Dua kursi milik saya seorang diri. Hati berbunga-bunga. Apalagi sudah ada kacamata kuda.
Tiba-tiba saya sedih: alangkah ruginya pengusaha bus ini. Perjalanan 13 jam hanya mengangkut 6 orang. Ini tidak boleh terjadi. Lama-lama rute ini bisa ditutup. Orang seperti saya akan dirugikan.
Saya juga sudah siap mental: hanya akan melihat padang pasir dan padang pasir. Ternyata tidak. Tidak sama dengan jurusan Madinah-Buraydah. Untuk Riyadh-Makkah terlihat lebih banyak kota-kota kecil. Kampung di tengah padang pasir.
Mungkin ini rute tradisional sejak kabilah-kabilah zaman onta.
Tentu saya sering melihat Google Map: sudah sampai di mana. Saya tahan mata ini untuk tidak tidur. Sebentar lagi saya akan menjadi sedikit orang Indonesia yang pernah melihat Wildlife Sanctuary. Namanya: Umm Al Ramth Wildlife Sanctuary.
Saya cari Wikipedia: sedikit sekali informasi tentang cagar alam di tengah padang pasir ini. Itulah cagar untuk melindungi binatang pengungsi. Khususnya burung yang menghindari wilayah dingin.
Padahal, di peta, cagar itu luas sekali. Baik yang kiri maupun yang kanan jalan. Saya perkirakan setidaknya satu jam penuh bus akan melewati di tengahnya.
Sudah enam jam perjalanan bus dari Riyadh. Mungkin hanya empat jam kalau pakai mobil BYD. Bus berbelok ke restoran. Di pinggir jalan. Saya tidak ingin makan. Saya sudah bawa roti lebar di tas kresek. Tidak pula ingin ke toilet. Barusan ke toilet di dalam bus –di sebelah tangga turun nan curam di bagian tengah bus.
Penumpang di depan saya kembali naik bus. Ajak saya turun. Juga mengajak satu penumpang lagi. Untuk sama-sama masuk resto setengah lungset itu. Saya lihat gambar-gambar besar yang dipajang: serba makanan Arab. Atraktif.
Yang mengajak saya itu orang Yaman. Tinggi, langsing, setengah baya, ganteng. Satunya lagi pendek, kecil, hitam, selalu bicara keras di HP. Ia orang Sudan.
Rupanya si Yaman tadi sudah memesan satu porsi nasi briyani. Porsinya besar. Satu nampan. Dua ekor ayam panggang menghiasi di atasnya. Ia perlu teman untuk menghabiskannya.
Tidak habis juga. Pun separonya.
Kami berlomba lari ke kasir. Si Yaman lebih dulu menjulurkan uang 100 riyal. Saya tepis tangannya. “Saya yang bayar,” kata saya. Tidak hanya di dalam hati. Ia ngotot. Bahasa Arabnya lebih bisa dipahami kasir. Jadilah lagi-lagi saya makan gratisan. Pun nun di tengah padang pasir.
“Mau umrah?” tanya si Sudan setelah makan.
Saya mengangguk.
“Umrah juga?” tanya saya.
“La,” jawabnya.
“Mau umrah juga?” tanya saya ke yang si Yaman.
“La,” jawabnya.
Selesai makan, si Yaman bicara dengan awak bus yang lagi makan di lesehan sebelah. Ia memberi tahu awak bus bahwa saya mau umrah.
Saya paham: agar bus berhenti di tempat miqat. Yakni tempat di mana orang yang akan umrah harus ganti ke pakaian ihram. Tanpa pakaian ihram umrahnya tidak sah.
Saya memang sudah bawa pakaian ihram: dua lembar kain putih. 120 x 240 cm. Satu untuk bagian bawah badan. Satunya lagi untuk bagian atas. Tidak boleh ada pakaian dalam.
Ada aturan: bus umum harus berhenti di miqot kalau salah satu penumpangnya ada yang mau umrah.
Saya tadi belum sempat memberi tahu awak bus. Juga karena saya punya rencana tersendiri.
Resto itu sudah begitu dekat dengan cagar. Di dalam bus mata saya pindah-pindah: ke layar hp dan ke layar ufuk. Saya bayangkan cagar itu nanti akan sangat menakjubkan: binatang-binatang liar, buas, aneh, langka. Atau ribuan burung yang lagi beterbangan. Mungkin juga banyak tanaman langka di situ.
Layar HP pun menunjukkan posisi: bus sudah berada di dalam wilayah cagar alam. Saya menatap ke luar: sama saja. Padang pasir juga. Yang itu juga. Tidak ada bedanya dengan ke mana pun mata memandang.
Pun satu jam kemudian. Dua jam berikutnya. Cagar dan bukan cagar tidak bisa dibedakan.
Setidaknya saya sudah punya pengalaman memasuki cagar terbesar di Timur Tengah.
Dan bus ini akan berhenti di Taif –kota pegunungan 1,5 jam sebelum Makkah. Inilah harapan baru. Setelah harapan lama lewat dengan hampa. Taif. Begitu terkenal namanya. Kota wisata. “Seperti Batu di Malang,” kata banyak orang yang belum pernah ke Batu.
Taif di depan mata. Hampa lagi.
Hari sudah gelap. Gulita. Tanggal sudah tua. Bulan tidak kelihatan, pun sabitnya. Di dalam gelap itu Taif tidak seperti Batu.
Tapi, dalam gelap pun, bus tahu di mana terminal Taif. Si Yaman ternyata turun di situ. Satu-satunya penumpang wanita juga turun. Pun dua penumpang lagi. Tinggallah saya dan si Sudan di dalam bus besar menuju Makkah.
Gelap.
Kosong gelondang.
Si Sudan jauh di depan. Si Nusantara di belakang. Ini saatnya beraksi. Tanpa risi. Saya pun mencopot semua pakaian. Lalu saya kenakan ihram. Beres. Tidak perlu lagi bus harus berhenti di miqat –kira-kira setengah jam lagi dari Taif. Tepatnya di Sail Al Kabeer. Hemat waktu.
Sampai Makkah sudah jam 22.00. Perangko belum bisa bertemu amplop.
Mas Bajuri dari Bakkah dan Mas Sodiq dari Harian Memorandum menjemput saya di terminal. Mereka mau menemani saya umrah.
“Sendirian saja,” jawab saya. Mereka sudah lelah mendampingi rombongan Bakkah.
Saya pun langsung ke masjid Al Haram seorang diri: tawaf –mengelilingi Kakbah tujuh kali.
Saya doakan si perangko. Juga anak-anak perangko. Cucu-cucu. Orang-orang terbaik. Sahabat-sahabat. Perusuh.
Lalu saya masih harus Sa’i: tujuh kali jalan kaki dari bukit Sofa ke bukit Marwa. Begitulah dulu istri Ibrahim (Abraham) bersusah payah bolak-balik mencarikan air untuk bayinyi –lalu tiba-tiba ada air Zamzam.
Pukul 00.30 Umrah selesai. Saya lihat perangko sudah tidur dengan pulasnya. (Dahlan Iskan)