Malang Post – Temuan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Batu terus merangkak naik. Hingga Jumat, (8/3) total ditemukan sebanyak 84 kasus DBD di Kota Batu. Dengan rincian di Kecamatan Batu ditemukan sebanyak 60 kasus, Kecamatan Bumiaji delapan kasus dan Kecamatan Junrejo 16 kasus.
Selain itu juga terdapat sejumlah kasus akibat virus Dangue di Kota Batu. Yakni Demam Dangue (DD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS). Dari jumlah kasus tersebut total ada dua kematian murni karena DBD.
Koordinator Pencegahan, Pengendalian Penyakit dan Penanganan Bencana Dinkes Kota Batu, dr Susana Indahwati menyatakan, dua kematian murni karena DBD terjadi di Desa Punten dan Kelurahan Temas. Kemudian ada satu kematian DBD dengan komorbid.
“Penyebab kematian adalah karena Diabetes Mellitus di Desa Punten. Sehingga yang dilaporkan sebagai kasus kematian akibat DBD adalah dua kasus,” tutur Susan, (8/3/2024).
Dia menambahkan, kasus baru DBD di Kota Batu terjadi di Kelurahan Temas. Dari kasus baru itu pihaknya langsung melakukan penyelidikan epidemiologi di wilayah RT 7 RW 7 Kelurahan Temas.
“Dari hasil penyelidikan itu, diketahui angka bebas jentik (ABJ) di wilayah tersebut mencapai 92,5 persen, dari yang seharusnya minimal 95 persen,” imbuhnya.
Sesuai pedoman dan pengendalian DBD di Indonesia, yang dikeluarkan oleh Kemenkes. Fogging dapat dilakukan jika memenuhi dua persyaratan. Yakni ditemukan penderita DBD lebih dari satu orang atau ditemukan lebih dari tiga orang terduga kena DBD.
“Selain itu, syarat bisa melakukan fogging jika ditemukan ABJ kurang dari 95 persen. Dengan mempertimbangkan hasil epidemiologi tersebut, sesuai pedoman pencegahan dan DBD dari Kemenkes. Maka langkah yang diambil adalah terus melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) minimal satu kali dalam satu Minggu,” papar dia.
Dengan cara itu, maka dapat memutus daur hidup nyamuk. Untuk melakukan PSN diharapkan seluruh masyarakat Kota Batu mau bergerak bersama. Dikoordinir oleh Ketua RT RW setempat. Selain itu, Dinkes Batu juga memberikan Abate dan Abatesasi di tempat penampungan air yang sulit di kuras.
Lebih lanjut, dia juga menjelaskan, dalam pelaksanaan fogging perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama memastikan masyarakat yang berada di radius 200 meter di wilayah kasus DBD telah mendapat informasi jadwal fogging. Sehingga bangunan dalam keadaan kosong penghuni, terutama lansia, ibu hamil dan balita.
“Lalu pemilik rumah juga harus menyimpan barang berharap di tempat yang aman dan tertutup. Begitu juga dengan makanan dan peralatan makan. Kemudian kompor dan peralatan listrik harus dimatikan. Serta hewan peliharaan seperti kucing, burung dan anjing diungsikan,” tuturnya.
Setelah dilakukan fogging, masyarakat juga perlu memperhatikan residu bahan aktif fogging. Sebab akan menempel di semua permukaan selama dua minggu. Sehingga perlu perhatian khusus dengan melakukan pembersihan permukaan benda yang terkena fogging.
Disisi lain, dia menambahkan, pada kondisi curah hujan yang tinggi, jumlah kasus DBD cenderung meningkat. Begitu sebaliknya, pada saat intensitas curah hujan rendah maka jumlah kasus DBD cenderung rendah.
Intensitas curah hujan yang tinggi akan mengakibatkan bertambahnya genangan air, sebagai tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang merupakan vektor penular DBD. Akibatnya populasi nyamuk dewasa meningkat dan penularan DBD meningkat.
“Sampai saat ini belum ada obat atau vaksin yang spesifik, tetapi bila pasien berobat dini dan mendapat tata laksana yang adekuat, umumnya kasus-kasus penyakit ini dapat diselamatkan,” ungkap Susan.
Penurunan angka kematian DBD memerlukan proses yang terorganisir dengan baik sejak awal diagnosis sampai tahap rujukan. Hal ini dapat dicapai dengan cara meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat, mengenai pentingnya membawa pasien DBD ke fasilitas pelayanan kesehatan. (Ananto Wibowo)