
Malang Post – Sebagai sentra pariwisata dan pertanian, ternyata kerajinan batik Kota Batu tak kalah mentereng dengan Kota Budaya Yogyakarta. Lihat saja, batik Kota Batu berhasil tembus pasar ekspor Asia dan Eropa. Juga banyak diambil distributor asal Yogyakarta dan Surakarta.
Fenomena ini merupakan suatu hal yang sangat luar biasa. Karena Kota Batu adalah kotanya pariwisata, bukan Kota Budaya. Meski demikian hasil kerajinan batiknya digandrungi dunia dan kota batik itu banyak dibuat.
Salah satu pengerajin batik Kota Batu yang paling dicari karyanya adalah Sumari. Seorang pria asal Desa Pandanrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Dia sudah menjadi pengrajin batik sejak berusia 20 tahun.
“Kota Batu terkenal sebagai Kota Wisata dan pertanian. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kami sebagai pengrajin batik,” tutur Sumari, Jumat, (23/2/2024).
Sebelum menjadi pengrajin batik yang dimulai pada tahun 1991 lalu. Sumari adalah seorang pengerajin wayang kulit. Pria asli Kota Batu ini senang dengan hal-hal rumit dan butuh ketekunan.
“Saat itu saya berfikir, mumpung masih muda saya ingin mencoba membuat batik. Karena jika membuat wayang terus, seiring berjalannya waktu akan kesulitan di bahan baku. Karena batik merupakan hal baru, saya terus berlatih dan mengembangkan diri,” tuturnya.
Berkat keuletannya itu, membawa Sumari menjadi seperti saat ini. Karya batiknya berkelas dunia. Harganya tembus puluhan juta. Hingga berhasil membuka lapangan pekerjaan bagi tetangga.

TUNJUKKAN: Pengrajin Batik Kota Batu, Sumari saat menunjukkan karya batiknya yang bernilai hingga Rp50 juta per kain. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Kunci utama batik Sumari bisa tembus pasar dunia karena motifnya beragam. Tidak monoton berbentuk itu-itu saja. Batik Sumari juga memiliki ciri khas, yakni ada gambar apel di setiap balutan kainnya.
“Kalau modelnya hanya itu-itu saja, pasti orang tidak mau beli. Tapi kalau batik punya nilai lebih. Pasti pembeli akan tertarik walau harganya mahal,” ungkap dia.
Batik Sumari di bandrol mulai harga Rp1,5 juta hingga Rp50 juta per potong. Beberapa tahun lalu, dia pernah menjual batik seharga Rp68 juta kepada orang Belanda. Beberapa jenis batik yang diproduksinya, seperti Batik Pakeman harganya mulai Rp7 juta per potong.
Kemudian ada juga Batik Sekar Jagat dan Cumikan. Ini merupakan batik kasta tertinggi yang dibuat Sumari. Karena harganya mencapai Rp50 juta per potong. Harga itu sebanding dengan kerumitan dan lamanya proses produksi, yang bisa mencapai satu tahun lebih. Dari kerajinan batik ini, dalam satu tahun Sumari berhasil meraup omzet sekitar Rp1 miliar.
“Sekarang batik termahal yang saya buat harganya Rp50 juta. Ini sudah dinanti-nanti pembeli. Karena itu, kalau ingin batiknya dicari orang. Harus benar-benar menekuni. Kemudian setiap pembuatan batik harus ada filosofi, mulai dari proses cantingan hingga jadi batik,” tuturnya.
Keindahan Batik Sumari benar-benar diakui dunia. Menyusul Batik Sumari telah mendapatkan label ‘Batik Mark’. Tak mudah mendapatkan label tersebut. Butuh proses dan tahapan panjang yang perlu dilalui.
“Batik Mark ini seperti SNI-nya batik dunia. Untuk mendapatkannya, harus di uji secara nasional di Balai Penelitian Batik Yogyakarta. Setelah mendapat lisensi dan kode batik, baru bisa melakukan pemasaran secara internasional,” jelas dia.
Pasar internasional yang telah menjadi langganan Batik Sumari diantaranya adalah Belanda, Amerika, Jepang, Singapura, Malaysia dan sejumlah negara lainnya. Selain mengekspor ke negara-negara tersebut, juga banyak pembeli luar negeri yang datang langsung ke gerai Batik Sumari.
“Pembeli luar negeri banyak yang datang langsung ke gerai kami. Karena orang luar negeri itu paling senang melihat proses pembuatan batik secara langsung. Meski hasilnya kurang, mereka tetap senang,” urai Sumari.
Pengrajin batik 56 tahun itu juga berbagi tips, untuk pengrajin batik di Kota Batu. Sehingga batik-batik yang mereka buat bisa dicari-cari pembeli. Menurut dia, kuncinya adalah kwalitas yang harus selalu terjaga dan punya stok batik siap order.
“Kalau ingin usaha batik sukses, harus berani membuat stok dan selalu menjaga kwalitas. Tapi kalau batiknya acak-acakan dan tidak ada stok. Kemudian ketika ada tamu datang tidak siap, maka akan sulit untuk berkembang,” tutup Sumari. (Ananto Wibowo)