Oleh: Dahlan Iskan
PEMILU sudah selesai. Itulah perasaan mayoritas rakyat. Mereka begitu percaya pada quick count. Apalagi semua lembaga penghitung cepat senada. Hanya angka-angkanya beda dikit.
Memang masih ada yang meragukan angka quick count. Mereka masih berharap penghitungan resmi oleh KPU bisa beda.
Perasaan seperti itu baik. Agar masih ada harapan. Orang hidup perlu harapan. Siapa tahu jagonya masih bisa menang. Setidaknya masih akan ada putaran kedua.
Berharap angka beda dari KPU itu membuat sebuah kekecewaan tidak terlalu tiba-tiba. Itu bahaya. Kekecewaan itu seperti KPR, perlu dicicil. Orang tidak sama: ada yang pilih kecewa 100 persen sekaligus. Sangat kecewa. Tapi cepat juga move on.
Ada yang pilih kecewa bertahap. Yang seperti ini lama sekali untuk bisa move on.
Munculnya harapan itu bisa jadi karena angka KPU tidak seperti di quick count. Tanpa disadari bahwa angka KPU itu masih sangat sementara. Nggak masalah baginya. Yang penting angka itu menimbulkan harapan di saat kecewa.
Harapan juga muncul dari banyaknya berita kesalahan input petugas Pemilu. Misalnya ada satu TPS yang mencatat pasangan Prabowo-Gibran menang 1.400 suara. Padahal jumlah pemilih tidak sampai 200 orang. Yang seperti itu tidak hanya di satu TPS.
Setiap berita ketidakberesan menambah harapan. Pun bila penyebabnya hanya masalah teknis yang mudah dikoreksi.
Harapan itu seperti listrik merek Phillips, terus terang terang terus, membuat hidup lebih hidup.
Maka penghitungan di KPU akan bisa menjadi faktor penyebab kekisruhan. Bahkan kerusuhan.
Bisa jadi ada yang berdoa agar KPU bikin blunder berkali-kali. Lalu gagal melakukan penghitungan sesuai jadwal. Ini bisa jadi pemicu kerusuhan.
Kalau itu sampai terjadi bahaya. Bisa menambah sumbu keinginan sebagian orang untuk ”tolak hasil pemilu”, ”bikin Pilpres ulang”, atau ”batalkan presiden/wapres terpilih di quick count’.
Untung ada quick count. Justru quick count bisa mengontrol KPU: dari segi kecepatan. Juga ketepatan.
Lembaga quick count itu tidak pakai uang negara. Bisa begitu cepat. Tepat. Kalau sampai IT KPU bermasalah, alangkah mengecewakannya.
Saya setuju: pada dasarnya Pilpres sudah selesai. Sudah terjadi akad nikah. Yang ditunggu ini tinggal resepsinya. Yang belum selesai itu Pileg. Minggu ini puncaknya: apakah caleg yang suaranya tidak banyak boleh ”diminta” dengan imbal jasa.
Pilpres sudah selesai. Waktunya kembali kerja. Cari nafkah. Saya juga sudah kembali mencari sesuap nasi. Para capres tidak akan ada yang membelikan saya nasi.
Tidak ada alasan meragukan quick count. Ilmu mereka begitu tinggi. Dalam sejarah Pilpres langsung kita belum ada quick count yang salah.
Anda sudah tahu: quick count pertama di Indonesia dilakukan oleh almamater saya. Yakni LP3ES. Pilpres tahun 2004.
Waktu itu LP3ES bekerja sama dengan Metro TV. Hebohnya bukan main. Pukul 15.00 hari itu Metro TV sudah mengumumkan SBY mengalahkan Megawati. Heboh. Belum pernah ada hasil Pilpres bisa diketahui pada hari yang sama.
Lima tahun kemudian sudah beberapa lembaga melakukan quick count. Semuanya benar –sesuai dengan hasil KPU. Begitulah tiap lima tahun. Kian banyak yang melakukan quick count. Hasilnya tetap benar –sesuai dengan hasil KPU.
Pilpres sudah selesai? (Dahlan Iskan)