Malang Post – Pemilu 2024 telah selesai. Hasil hitung cepat menunjukkan, pasangan calon 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, meraih suara di kisaran 55-59 persen.
Disusul oleh pasangan calon 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dengan kisaran angka 23-25 persen dan pasangan calon 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dengan kisaran angka 16-17 persen.
Angka-angka hasil hitung cepat ini, kemudian memunculkan istilah silent majority atau pemilih yang selama ini bersikap diam dan memberikan pembuktian saat pemungutan suara.
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya, Dr. Verdy Firmantoro S.I.Kom., M.I.Kom mengungkapkan silent majority ini, adalah orang yang memilih pasif dalam perdebatan publik. Tapi bisa besar raihan suaranya.
“Ini yang disebut sebagai silent majority. Orang-orang grassroot, yang tentunya mereka tidak banyak mewarnai perdebatan publik.”
“Tapi mereka menjadi pemilih aktif dan betul-betul datang ke TPS menyuarakan aspirasinya. Itulah yang sepertinya menjadi penyebab mendulangnya angka bagi paslon 02,” paparnya, Kamis (15/2/2024).
Doktor lulusan Universitas Indonesia ini menilai, silent majority ini berasal dari kalangan grassroot yang mendapatkan bantuan sosial. Orang yang merasakan sentuhan-sentuhan kesejahteraan pada level bawah.
“Masyarakat kalangan itu yang sebetulnya mampu mempengaruhi suara publik, makanya suara 02 besar,” sambung Verdy.
Dia menyatakan, tipologi masyarakat Indonesia sebenarnya tidak siap kalau ada pertarungan demokrasi secara liberal.
“Artinya, ada pertarungan terbuka, saling menyerang, saling berbeda pandangan, saling memberi sentimen yang masyarakat Indonesia tidak terlalu suka. Justru orang yang diberikan sentimen negatif itu, malah mendapat pantulan positif,” papar Verdy.
Pria asal Lumajang ini menyatakan, sentimen negatif ke kubu 02 berbuah suara ke masyarakat, karena masyarakat merasa iba atau kasihan.
“Tentu dalam konteks beliau (Prabowo Subianto) sudah empat kali mencalonkan diri dan inilah yang membuat masyarakat kalangan bawah atau grassroot, ingin memberikan kesempatan ke beliau atas “perjuangan” yang dilakukan,” imbuh Verdy.
Sisi lain, suara-suara kritis yang mengulik kasus di MK dan yang lain-lain, kata Verdy, relatif dianggap sebagai persoalan eliti yang familiar dengan suara kritis dan pertimbangan yang rasional. Serta tidak tersentuh ke level masyarakat bawah atau grassroot.
Fenomena silent majority juga makin membesar, karena politik kontemporer yang dilakukan oleh paslon 02 dengan selebgram dan influencer, mampu menggerakkan anak muda dalam menikmati politik itu seolah-olah bagian dari hal yang entertain.
“Itu yang akhirnya membuat mereka tertarik dengan figur gemoy. Cara-cara yang lebih entertain, itulah yang di kontestasi kali ini, cukup membuktikan membawa dampak elektoral bagi bergeraknya anak muda dalam mencoblos,” pungkas Verdy Firmantoro. (M. Abd. Rahman Rozzi)