Malang Post – Babyblues adalah istilah yang tidak asing bagi ibu milenial bahkan gen-Z.
Yang memprihatinkan, dalam beberapa pemberitaan, ibu dengan babyblues tak segan menyakiti diri sendiri maupun anaknya.
Dari sisi psikologi, babyblues disebut dengan postpartum blues. Ini bukan termasuk gangguan mental, tetapi permasalahan psikologis.
Hal ini disampaikan psikolog sekaligus Dosen Psikologi (FPsi) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Atika Permata Sari, S.Psi., M.Psi .
“Dalam psikologi, permasalahan dan gangguan adalah hal yang berbeda. Permasalahan, belum menghasilkan diagnosis gangguan tertentu.”
“Namun jika postpartum blues dibiarkan tanpa ada penanganan, maka nantinya akan menjadi postpartum depression, dimana kondisi ini bisa disebut dengan gangguan psikologis,” tambahnya.
Jika ditinjau dari sisi medis, lanjut Atika, faktor pemicu ibu mengalami babyblues, bisa berasal dari beberapa hal. Seperti perubahan hormon yang drastis setelah melahirkan, riwayat kondisi sebelum melahirkan dan riwayat permasalahan di keluarga.
“Terlebih bagi ibu yang memiliki riwayat gangguan psikologis, seperti depresi akan berisiko lebih besar untuk mengalami babyblues,” tambahnya.
Gejala yang paling kelihatan saat seorang ibu mengalami babyblues adalah berkaitan dengan emosi. Yakni emosi yang labil, merasa cemas, mudah marah dan bahkan beberapa menunjukkan gejala depresi ringan.
Selain itu juga ada gejala dalam bentuk perilaku, yaitu perubahan pola tidur dan perubahan pola makan. Bisa jadi makan lebih sedikit atau lebih banyak dari biasanya dan tidur lebih sedikit atau lebih banyak dari biasanya.
Mengacu pada beberapa penelitian sebelumnya, Atika menyampaikan bahwa Ibu yang mengalami babyblues, akan mengalami penurunan kesehatan mental dan memiliki kualitas tidur yang buruk.
Selain itu, hal ini juga akan berdampak pada sejauh mana ibu mampu menjalankan peran pengasuhan kepada anaknya.
“Adanya pendampingan baik dari keluarga maupun tenaga profesional, adalah hal penting. Mereka dapat memberikan dukungan kepada ibu pasca melahirkan. Hal ini terbukti dapat menurunkan kemungkinan babyblues berkembang menjadi postpartum depression. Selain itu, pendampingan juga meningkatkan kesehatan mental ibu,” tegasnya.
Ada beberapa dukungan yang dapat dilakukan. Mulai dari dukungan instrumental seperti bergantian menjaga bayi, dukungan emosional seperti mendengarkan curhat istri, ataupun dukungan material seperti memberikan tambahan uang saku untuk istri.
“Babyblues wajar dialami dan biasanya akan hilang dengan sendirinya setelah dua minggu, pasca kemunculan pertama gejala. Ini juga dapat membaik tentunya dengan dukungan dari orang-orang disekitar,” paparnya.
Di akhir, Atika berharap semoga setiap ibu yang mengalami babyblues mempunyai cukup dukungan, dalam proses pengasuhan anak. Ia pun berpesan kepada para ibu agar tidak segan-segan meminta bantuan kepada individu-individu di sekitar.
“Jangan pernah merasa bersalah, saat meminta bantuan dan menerima bantuan dari orang lain selama membesarkan anak. Seperti kata pepatah, ‘it takes a village to raise a child’,“ pungkasnya. (M. Abd. Rahman Rozzi)