Malang Post – Eksistensi apel Batu terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Ada berbagai sebab hal tersebut terjadi. Diantaranya modal yang dikeluarkan tak sebanding dengan pendapatan, harga jual apel saat musim panen merosot, degradasi pohon apel yang sudah tak lagi produktif hingga hama yang belum mampu dikendalikan.
Akhirnya banyak petani apel yang bergeser menjadi petani jeruk dan sayur-sayuran karena dinilai lebih menjanjikan. Dari data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Kota Batu, lahan apel di Kota Batu terus menurun. Tahun 2020 luas lahan perkebunan apel di Kota Batu seluas 1.200 hektar.
Kemudian pada tahun 2022 berkurang menjadi 1.092 hektare dan tahun 2023 turun lagi menjadi 1.044 hektare. Hal ini jelas menunjukkan luas lahan perkebunan apel di Kota Batu semakin berkurang setiap tahunnya.
Ketua Kelompok Tani Bersama Dusun Gerdu, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Utomo menyatakan, saat ini Desa Tulungrejo merupakan desa dengan petani apel terbanyak di Kota Batu. Para petani apel telah bertahan selama tujuh tahun dari serangan hama.
“Hama lalat buah muncul sekitar tahun 2017. Kami terus berjuang melawan hama tersebut,” tutur Utomo, Rabu, (24/1/2024).
Pria 60 tahun itu juga mengungkapkan, di desanya lahan apel turun cukup drastis. Sekarang tinggal menyisakan sekitar 300 hektare lahan apel. Jumlah tersebut sangat jauh dibandingkan sebelum lalat buah menyerang. Dimana lahan apel di Desa Tulungrejo mencapai 1.000 hektare.
Banyak petani apel menyerah menghadapi hama tersebut. Sebab hingga saat ini, petani belum bisa menanggulangi hama yang menyerang bagian buah apel itu.
“Akhirnya banyak petani membongkar kebun apel. Atau dibiarkan saja tidak dirawat,” ungkapnya.
Akibat hama lalat buah, di bagian buah apel terdapat bintik hitam. Bintik hitam tersebut merupakan pembusukan yang menular dari satu buah ke buah apel lain. Apesnya hampir seluruh buah apel terserang hama tersebut. Hingga ancaman gagal panen sudah didepan mata.
“Masih bisa dijual untuk bahan keripik. Harganya Rp2 ribu per kilogram. Sedangkan harga apel yang bagus masih Rp6 ribu per kilogram,” tuturnya.
Dengan harga yang cukup murah itu, Utomo mengungkapkan jika tak bisa menutup biaya produksi perawatan apel. Sebab selama tiga bulan masa produksi, dia harus merawat apel mulai dari pemberian pupuk, membersihkan rumput dan penyemprotan pestisida.
“Akibat hama lalat buah, sebenarnya yang busuk hanya sebagian. Jadi bagian yang lain masih utuh. Sehingga bisa dimanfaatkan untuk kripik atau minuman sari apel,” ujarnya.
Lebih lanjut, untuk meredam hama lalat buah, berbagai cara telah dilakukan para petani. Diantaranya menggunakan pestisida dengan berbagai merek, namun hasilnya tetap saja tak mempan. Selain itu, petani juga pernah meracik pestisida berbahan herbal, namun belum mampu membuahkan hasil.
DPKP Kota Batu juga kerap memberikan penyuluhan untuk menanggulangi hama tersebut. Bahkan penelitian kandungan unsur hara tanah juga telah dilakukan, tapi hama lalat buah juga masih belum bisa dikendalikan.
“Salah satu upaya petani yaitu membungkus apel dengan kertas. Alhamdulillah bisa mengurangi pembusukan, tapi membutuhkan biaya yang mahal. Tidak semua petani mampu,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Kelompok Tani, Dusun Gondang, Desa Tulungrejo, Suwono menyampaikan, saat ini para petani tengah mengupayakan pengembalian kesuburan tanah di lahan pertanian yang dimiliki. Untuk mengembalikan kesuburan tanah di lahan pertanian apel, memang agak sulit dan harus memiliki kesabaran.
“Mengembalikan kesuburan lahan pertanian itu tidak bisa instan, dan harus pakai pupuk organik atau pupuk kandang sapi atau pupuk kandang kambing,” ujar Suwono.
Khusus untuk lahan apel, selain bantuan pupuk para petani juga berharap adanya bantuan obat pertanian. Karena untuk meningkatkan produksi apel, dibutuhkan juga obat untuk penanggulangan busuk buah.
“Selain itu beberapa petani juga membutuhkan bibit apel untuk peremajaan pohon apel yang sudah tua sekali. Karena rata-rata penanaman pohon apel yang ada saat ini, telah ditanam antara tahun 1960-an hingga 1970-an,” jelas Suwono.
Kepala DPKP Kota Batu, Heru Yulianto menyampaikan, lahan pertanian apel di Kota Batu telah mengalami penyusutan. Ada beberapa penyebab rusaknya lahan apel. Pertama karena usia pohon apel lebih dari 25 tahun, ada penurunan kualitas tanah, pemakaian pupuk kimia dan perubahan iklim.
“Adanya hal tersebut, kami telah membuat program revitalisasi apel. Lahan apel rusak karena selama ini menggunakan pupuk kimia secara masif,” katanya.
Heru menegaskan, pihaknya berkomitmen agar Apel tetap tumbuh dengan baik. Salah satu caranya, dengan menggandeng Universitas Brawijaya (UB) untuk menanggulangi hama pada buah apel.
Selain itu, DPKP Kota Batu juga membentuk Klinik Pengendalian Hama Terpadu (PHT) di Gapoktan Mitra Arjunadi, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji. Klinik PHT itu mengembangkan pestisida pupuk organik untuk menanggulangi hama pada buah apel.
“Lalat buah memang menjadi hama di buah apapun, tidak hanya apel. Sehingga pembungkusan juga merupakan salah satu cara untuk mengurangi hama tersebut,” tutupnya. (Ananto Wibowo)