Malang Post – Pemerintah Provinsi Jatim mulai mengembalikan kerusakan ekosistem hutan di wilayah Gunung Arjuno-Welirang dan Anjasmoro, akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang terjadi di wilayah gunung tersebut akhir Agustus lalu.
Diperkirakan luasan lahan yang terbakar dalam peristiwa itu mencapai 4.850 hektare. Menghanguskan berbagai macam vegetasi dan ekosistem yang ada didalamnya. Untuk mengembalikan kerusakan ekosistem, Pemprov Jatim membagikan 7.000 bibit pohon kepada masyarakat peduli api.
Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa menyatakan, pohon-pohon yang dibagikan itu akan ditanam untuk rehabilitasi Gunung Arjuno-Welirang pasca terbakar. Dimana sebelumnya, pada Agustus lalu telah dilakukan upaya gabungan bersama BNPB, stakeholder terkait dan seluruh elemen masyarakat untuk memadamkan api.
“Dalam proses pemadaman itu, tidak bisa hanya mengandalkan proses secara alami. Maka kami disupport berbagai pihak tersebut untuk melakukan pemadaman karhutla,” tutur Gubernur Khofifah, Minggu, (24/12/2023) usai kegiatan Sapa Masyarakat Konservasi di Pemandian Air Panas Cangar, Desa Sumberbrantas, Kota Batu.
Dia menambahkan, setelah proses pemadaman itu rampung, maka tugas selanjutnya adalah mengembalikan ekosistem. Selain secara manual dengan melakukan penanaman 7.000 bibit pohon. Juga akan dilakukan aeroseeding, merupakan teknik penanaman dengan cara penaburan benih dari udara menggunakan pesawat terbang atau helikopter.
“Tahun 2019 lalu aeroseeding sudah pernah kami lakukan. Dibantu oleh armada dari Lanud Abdurrahman Saleh. Hal ini akan kami lakukan lagi untuk mengembalikan ekosistem Gunung Arjuno-Welirang,” tuturnya.
BAGI BIBIT POHON: Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa saat membagikan bibit pohon kepada masyarakat peduli api. Ini dilakukan untuk mengembalikan ekosistem yang ada di Gunung Arjuno-Welirang pasca karhutla. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Lebih lanjut, Gubernur Khofifah juga berpesan, apabila kerhutla itu disebabkan oleh alam, maka harus dibangun adaptasi yang lebih kuat dengan alam. Namun jika disebabkan karena perilaku manusia. Dia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menjaga daya dukung alam dan lingkungan.
“Jaga hutan kita. Ini adalah paru-paru dunia. Maka membangun kembali komitmen untuk bisa mengembalikan ekosistem hutan adalah hal utama,” tutur dia.
Gubernur Khofifah juga mengajak seluruh pihak, untuk terus menjaga hutan dan melestarikan hutan. “Saya ini suka naik gunung dan sering naik gunung. Saya tidak pernah mengambil satu piji pun Anggrek yang pernah saya temui di gunung. Karena itu, kalau ada karhutla, pasti hati saya menangis. Karena saya menyayangi hutan,” imbuhnya.
Disisi lain, berkaca dari peristiwa tersebut, dia berharap, Kementerian KLHK bisa membuat posko Manggala Agni di wilayah Jatim. Apalagi wilayah Perhutani paling luas di pulai Jawa berada di Jatim.
“Manggala Agni ada di Denpasar. Sudah saatnya Kementerian KLHK membuat Posko Manggala Agni di Jatim. Karena tiga besar yang menjadi langganan bencana alam di Jatim salah satunya adalah karhutla,” tuturnya.
Kepala Dinas Kehutanan Jatim, Jumadi menambahkan, diperkirakan aeroseeding akan dilakukan pada Bulan Januari mendatang. Untuk saat ini, benih-benih yang akan ditebar di lereng Arjuno-Welirang sudah siap.
“Untuk armada pesawatnya akan dikoordinasikan oleh Kalaksa BPBD Jatim. Aeroseeding dilakukan karena ada punggung-punggung yang tidak bisa dicapai menggunakan tenaga personel kami,” tuturnya.
Kebakaran di Gunung Arjuno tercatat sebagai salah satu bencana ekologis terbesar di wilayah ini. Api yang berkobar sejak akhir Agustus telah merusak ekosistem, mengancam flora dan fauna serta kehidupan masyarakat sekitar.
Upaya pemadaman yang dilakukan melalui water bombing dan metode manual akhirnya membuahkan hasil setelah lebih dari dua minggu pertarungan sengit melawan api.
Kerusakan yang diakibatkan oleh Karhutla ini tidak hanya terbatas pada kerusakan fisik hutan, tetapi juga mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar. Ekosistem yang rusak berdampak pada keberlangsungan flora dan fauna setempat, serta mengganggu aktivitas masyarakat yang bergantung pada hutan untuk mata pencaharian mereka. (Ananto Wibowo)