Malang Post – Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Styawan menilai, banjir yang terjadi di Dusun Beru, Desa Bumiaji, Kota Batu intensitasnya semakin sering dalam lima tahun terakhir ini. Dimana pada tahun-tahun sebelumnya, hal serupa audah sering terjadi.
“Bahkan pada bulan November 2021 banjir paling parah sempat terjadi di Kota Batu. Saat itu Kota Batu diterjang banjir bandang hingga menewaskan tujuh orang,” kata Wahyu, Senin, (11/12/2023).
Menurutnya, faktor penyebab banjir adalah krisi iklim. Yaitu cuaca ekstrem dimana curah hujan sangat tinggi, juga berbalut dengan perubahan atay alih fungsi lawas di wilayah atas.
“Wilayah atas itu seperti lereng Arjuno-Welirang menuju ke taman hutan raya. Di lokasi tersebut, banyak terjadi alih fungsi kawasan. Sehingga menyebabkan air yang turun tidak mampu ditangkap dan diserap. Lalu langsung lari ke bawah fan dampaknya ke permukiman warga,” paparnya.
Air yang langsung turun ke bawah itu, turut membawa material kayu, lumpur dan lainnya. Dengan adanya hak tersebut, menurut Wahyu, membuktikan bahwa tidak mampunya kawasan hutan untuk menahan air.
“Yang jadi perhatian, alih fungsi ini tidak hanya terjadi di wilayah atas. Melainkan juga di kawasan bawah di wilayah Kota Batu. Alih fungsi di kawasan bawah biasanya untuk wisata dan perhotelan hingga perumahan,” katanya.
Dengan adanya hal tersebut, membuat banyak masyarakat kehilangan lahan. Sehingga masyarakat cenderung memilih berpindah ke atas untuk bertahan hidup melalui pertaniannya. Hal tersebut, hingga saat ini masih menjadi pola yang terjadi di Kota Batu serta belum menjadi perhatian serius.
“Jika berbicara tentang penyelamatan di kawasan atas Kota Batu. Tentunya juga harus melihat penyelamatan yang ada di kawasan bawahnya. Terutama mendorong ekonomi yang berbasis pada pelestarian lingkungan. Sedangkan di atas, penyelamatannya ya dengan agroforestri dan hasil hutan bukan kayu,” tuturnya.
Untuk mewujudkan hal tersebut, menurutnya perlu kebijakan. Pemkot Batu harus mereview ulang rencana tata ruang yang telah dibuat. Karena sudah tidak terbuka, tidak partisipatif dan lebih mementingkan alih fungsi kawasan khususnya untuk kebutuhan wisata. Sehingga tidak mengedepankan persoalan alih fungsi, serta soal dampak banjir yang terjadi sejak lima tahun terakhir.
“Kami mendorong Pemkot Batu untuk mereview kebijakan tata ruang, yang benar-benar mengatur soal keselamatan dan pemulihan kawasan. Kami juga mendorong soal kebijakan yang memang berbasis kepada situasi faktual dan bukan sekedar karena ada banjir dan direspon kemudian selesai. Tentunya harus ada road map yang berjangka panjang, terbuka dan melibatkan masyarakat,” katanya.
Dengan membahas poin-poin penting untuk menyelesaikan permasalahan banjir yang terjadi di Kota Batu. Diharapkan kedepannya tidak ada banjir separah tahun ini, hingga tidak ada banjir lagi yang terjadi di Kota Batu. (Ananto Wibowo)