Malang Post – Pengusaha dan pemilik modal (investor), mengeluhkan proses perizinan di Kota Malang, yang menjadi sulit, rumit, membingungkan dan memberatkan. Setelah diterapkannya sistem online submission single risk based approach (OSS-RBA).
Dampaknya investasi ke Kota Malang senilai Rp1,5 triliun, gagal terwujud. Yang diantaranya berasal dari investor hotel bintang lima. Mereka memilih mundur karena keberatan terhadap proses perizinan.
“Kami mengakui dan ikut merasakan keluhannya mereka. Apalagi beberapa investor memutuskan menunda investasinya karena hal tersebut,” ungkap Kadisnaker-PMPTSP Kota Malang, Arif Tri Sastyawan, usai mensosialisasikan UMK Kota Malang, di Hotel Savana Malang, Rabu (6/12/2023).
Penerapan OSS-RBA tersebut, jelas Arif, menyebabkan sistem perizinannya banyak ditarik ke Jakarta. Tentunya ini menjadi kendala dan menyulitkan bagi daerah. Kendati sudah dilaporkannya saat Rakernas di Jakarta, beberapa waktu lalu.
“Perizinan yang ditarik ke pusat, diantaranya SIM-BG, AMDAL, SIPA. Aplikasi sistem OSS-RBA sebagai portal perizinannya, sudah bisa dilaksanakan. Tapi ketika memasuki perizinan berkaitan nomor induk bersama (NIB). Atau klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI), segala persyaratan mesti dipenuhinya,” beber Arif.
Mantan Lurah Dinoyo ini pun menjelaskan, persyaratan yang ditentukan di dalamnya juga mensyaratkan ada rekomendasi dari Pusat Jakarta, Kementerian maupun Provinsi. Itulah salah satu contoh mempersulit dan menghambat bagi pengusaha di daerah.
“Contoh nyata di Kota Malang, calon investor akan menanamkan modalnya. Untuk pembangunan hotel bintang lima senilai Rp500 miliar. Melihat regulasinya rumit dan memberatkan, akhirnya gagal terwujud. Padahal akan ada lebih dari satu hotel bintang lima,” jelas Arif.
Kondisi tersebut, tambah Arif, bisa jadi akan menimpa pembangunan perumahan di Kota Malang. Meski investasinya cukup besar, tetapi jika sistem regulasi tidak segera dibenahi, dikhawatirkan juga bakal gagal terwujud.
“Nantinya jika hal itu terjadi, iklim investasi di Kota Malang akan mengalami penurunan signifikan. Harapan kami ada kolaborasi yang baik, antara pusat dan daerah. Dari sisi sinkronisasi dan memberi kemudahan,” sebut Arif.
Terpisah, Ketua APINDO Malang, Chondro Utomo juga mengamini adanya keluhan pengusaha sekaligus pemilik modal yang tergabung dalam APINDO. Apalagi pihaknya juga ikut merasakan dan sama-sama menemukan hambatan di lapangan.
“Ketika kami ingin melakukan ekspansi bisnis, tapi proses perizinannya menyita waktu cukup lama. Kondisi itu benar-benar menghambat kami,” ujar Chondro Utomo, kepada awak media, beberapa waktu lalu.
Belum lagi saat ini sudah masuk tahun politik. Chondro menilai tak sekadar perizinan saja yang sulit. Melainkan rawan resesi dan regulasinya menjadi tidak menentu.
“Kami sempat berpikiran, tahun politik pasti memiliki pengaruh pada kebijakan ke depan. Munculnya pemimpin baru, pasti akan ada kebijakan baru lagi. Tentunya ini bagian dari hambatan juga. Makannya pemilik modal berpikir ulang untuk menginvestasikan dananya,” tandasnya.
Chondro juga sempat menyitir prediksi pakar ekonomi dari UB Malang, Joko Budi Santoso. Yang menyebut di tahun politik ini, pertumbuhan ekonomi Kota Malang berada di kisaran angka 5 – 5,6 persen.
Prediksi itu juga menjadikan banyak calon investor, menunda investasinya hingga semester pertama di 2024.
“Kami berasa yakin manakala ada kepastian hukum, dalam menjalankan roda bisnis maupun berekspansi. Sementara kondisi saat ini, belum ada kepastian hukum itu. Jelas akan menjadi kendala utama bagi pengusaha,” ucap Chondro.
Sementara itu terkait sosialisasi dan edukasi, pada aplikasi digitalisasi perizinan, Chondro mengaku belum banyak dipahami oleh pihak-pihak terkait. Masih ditambah regulasi ketenagakerjaan yang kerap berubah.
“Utamanya soal pengupahan setiap tahun, yang terjadi perbedaan para pihak terkait pada proses pengupahannya. Tentunya ini menjadi hambatan bagi pengusaha. Kami pun merasa bingung dan tidak tenang,” pungkasnya. (Iwan Irawan – Ra Indrata).