Malang Post – Dalam tiga tahun terakhir, ada degradasi terkait pengupahan. Karena seakan semakin memiskinkan pekerja atau buruh.
Kata Pengurus DPW FSPMI Jawa Timur, Satya Agung, ketika menjadi narasumber talkshow di program Idjen Talk, melihat konsumsi per kapita, upah minimum Kota Malang belum sesuai ditambah dengan harga komoditas yang semakin naik.
“Bahkan meskipun dikabarkan pertumbuhan ekonomi di Kota Malang meningkat, tapi itu tidak berpengaruh ke pekerja atau buruh. Karena memang nilai UMK juga masih cenderung tidak sebanding dengan konsumsi perkapita,” katanya di acara yang disiarkan Radio City Guide 911 FM.
Padahal disebutkan dosen Prodi Kesejahteraan Sosial FISIP UMM, Hutri Agustino, kenaikan UMK tahun 2024 salah satu indikatornya adalah pertumbuhan ekonomi meningkat.
Meski kalau melihat dari sisi pendidikan dan kesehatan, ujarnya, masyarakat Kota Malang tidak sepenuhnya sejahtera. Penghasilan dari buruh atau pekerja juga cenderung stagnan.
“Tahun ini ada 8,9 persen anak di Kota Malang berpotensi stunting. Kalau dari sisi pendidikan, 17,7 persen atau 7098 jiwa tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA sederajat. Bahkan 41,27 persen tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Padahal Kota Malang sebagai Kota Pendidikan,” sebutnya.
Sementara itu, Mediator Hubungan Industrial Ahli Muda Disnaker-PMPTSP Kota Malang, Carter Wira Suteja mengatakan, penentuan nilai Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), berdasarkan PP No 51 tahun 2023. Tidak hanya dilihat dari nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
“Kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota, juga menjadi poin penting untuk penetapan nilai UMK. Sebagai penyeimbang supaya kenaikan UMK tidak terlalu signifikan,” sebutnya.
Lebih lanjut Carter berharap, semua perusahaan di Kota Malang bisa menerapkan UMK yang sudah ditetapkan.
Tapi kalau dirasa masih belum mampu, dibutuhkan koordinasi dengan pekerjanya.
Sedangkan untuk pelaku UMKM, bisa menerapkan upah minimum, kalau pekerjanya sudah di atas 10 orang. (Faricha Umami – Ra Indrata)