Malang Post – Istilah dalam psikologi, election stress disorder, muncul pertama kali dari seseorang pada masa Pemilu 2016 di Amerika.
Menurut Dosen Psikologi Politik UMM, Zakarija Achmat, stres karena pilpres itu berpotensi terjadi, ketika ada orang yang memang menonjolkan keberpihakannya di calon tertentu.
“Apalagi hal itu ditunjukkan di sosial media seperti twitter. Kemudian ada beberapa sudut pandang lain yang merespon, sehingga terjadi perbedaan didalamnya dan mengarah pada kondisi tertekan atau stres,” katanya saat menjadi narasumber talkshow di program Idjen Talk. Yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Senin (30/10/2023)
Zakarija menambahkan, diagnosis stress karena pemilu itu juga bisa saja dirasakan oleh orang-orang, ketika dalam kesehariannya memang dekat sekali dengan persoalan Pemilu. Entah itu karena pekerjaanya atau bahkan konsumsi keseharian dalam sosial medianya, persoalan pilpres yang berlebihan.
Dosen Magister Ilmu Komunikasi, Anang Sudjoko menambahkan, kehadiran media massa dan media sosial yang berbasis koneksi internet, memang sangat mempengaruhi sudut pandang masyarakat. Karena banyak berita yang beredar justru memanfaatkan moment pilpres ini, untuk mengkonstruksi realitas sesuai keinginannya, bukan lagi keinginan masyarakat.
“Bahkan ada beberapa pemberitaan yang seharusnya tidak layak disajikan untuk publik, sehingga membuat ruang publik risau,” ujar dosen Universitas Brawijaya ini.
Disebutkan, sekarang ini banyak berita-berita yang diangkat, tapi justru meninggalkan news value. Sehingga kualitas berita yang dikonsumsi masyarakat kurang baik dan mempengaruhi pola pandang masyarakat dalam ajang kontestasi Pilpres tahun 2024.
Sementara itu dalam pandangan Relawan MAFINDO Malang, Eko Widianto, sejauh ini beberapa upaya dari Mafindo sudah dilakukan, salah satu tujuannya untuk pemberantasan hoaks. Dengan memberikan pemahaman pada masyarakat, kalau semua informasi yang ada di luar perlu adanya cek dan ricek.
Sekarang ini tipologi hoax bermacam-macam dan MAFINDO mengajak masyarakat mengenal itu. Bahkan pihaknya juga menyasar generasi Z yang lebih akrab dengan media digital. Termasuk aktif di media sosial untuk mendistribusikan banyak informasi.
Eko menambahkan, masyarakat seharusnya belajar dengan Pilpres 2019 lalu, yang sempat ada polarisasi karena berita hoaks yang terjadi.
Sedangkan untuk tahun ini, berita hoaks sendiri sudah semakin meningkat sejak di bulan Januari yang lalu. (Wulan Indriyani – Ra Indrata)