Malang Post – Reklame terbagi menjadi dua jenis. Insidentil dan tetap. Dua jenis itu juga dengan beberapa aturan yang berbeda.
Untuk reklame insidentil, pemasangannya dalam jangka pendek. Biasanya rentan 1 – 2 minggu atau satu bulan. Sedangkan untuk reklame tetap, hitungannya tahun. Biasanya minimalnya satu tahun.
“Untuk reklame insidentil, biasanya cukup menggunakan kayu, bambu atau tiang besi sederhana untuk pemasangan.”
“Sementara reklame besar itu perlu pengecoran. Karena durasinya yang lama dan untuk memastikan reklame tetap kokoh tidak terpengaruh cuaca ekstrim,” kata CEO Jade Indopratama Group, Rachmad Santoso.
Hal itu disampaikannya, saat menjadi narasumber talkshow di program Idjen Talk. Yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Senin (9/10/2023).
Sedangkan pemasangan reklame itu sendiri, seperti dijelaskan Kepala DPMPTSP Kota Batu, Muji Dwi Leksono, pihaknya bersinergi dengan pihak lain untuk pemasangan iklan. Baik dalam bentuk reklame maupun baliho.
“Tapi pada dasarnya semua iklan itu, masuknya lewat DPMPTSP semuanya. Setelah dapat surat pengantar, baru nanti masuk ke Bapenda untuk pajaknya,” kata Muji.
Bahkan untuk pemasangan sendiri, lanjutnya, juga harus melihat. Jika menggunakan ruang milik jalan (RUMIJA), harus ada kerjasama dengan PUPR.
Sementara kalau memang pemasangan itu dilakukan di Jalan Provinsi, maupun statusnya jalan Kota atau Kabupaten, nanti akan diarahkan ke Dishub //
Sejauh ini pihaknya dalam berkolaborasi dengan Satpol PP, Bapenda sampai Dishub dalam penertiban reklame. Sebagai dasar hukumnya sudah ada Perwali no 17 tahun 2022.
“Razia dilakukan seminggu dua kali. Sering kali selesai ditertibkan, besok malamnya ada yang memasang lagi. Apalagi untuk reklame dan baliho yang mengusung caleg, masih jadi fokus dinasnya mengingat masa kampanye belum masuk,” tambahnya.
Muji menambahkan, di Kota Batu sudah ditata untuk tempat yang tidak diperbolehkan dipasang reklame. Seperti di simpang empat Panglima Sudirman, Trunojoyo, Simpang Selecta sampai di simpang tiga BATOS.
“Bahkan di Jalan Panglima Sudirman sampai kawasan Jalan Diponegoro, dilarang memasang reklame dan baliho soal parpol dan itu juga sudah diatur dalam Perwali,” tambahnya.
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) Universitas Brawijaya, Johannes Parlindungan menambahkan, soal permasalahan baliho yang ada di Kota Batu, untuk ranah penertibannya ada di Pemda. Didalamnya itu bukan hanya satu Dinas saja yang bertanggung jawab, melainkan lintas dinas.
“Untuk penarikan pajaknya ada di dinas pendapatan daerah. Sementara kalau bicara dari nilai estetikanya, itu masuk ke ranah DPUPR. Kemudian kalau untuk mengganggu tidaknya pada lalu lintas juga masuknya ke dishub,” jelasnya. //
Karena itu, kata Johannes, antar dinas harusnya saling bersinergi, untuk sama-sama mencarikan solusi terbaik, soal reklame yang masih semrawut di Kota Batu.
Apalagi Kota Batu dikenal sebagai Kota Wisata. Jadi kondisi jalanan juga lebih tertib lagi dari baliho. Sehingga nilai estetika Kota Batu tetap ada, tidak tertutupi baliho maupun reklame.
“Di Kota Malang dulu tahun 1999, tepatnya dari Jalan Semeru ke Jalan Ijen, bisa melihat bebas patung bunga dengan siluet gunung di belakangnya. Tapi masuk ke tahun 2000-an dipasang billboard sehingga menutup view itu,” katanya.
Johannes menambahkan, harusnya pemerintah setempat, khususnya pemerintah Kota Batu, juga bisa menata tempat-tempat yang boleh dan tidak boleh dipasang baliho. (Wulan Indriyani – Ra Indrata)