Malang Post – Sejak dilaunching dua tahun lalu. Desa-desa wisata di Kota Batu belum mampu menunjukkan geliatnya.
Hampir semua desa wisata hanya dilaunching begitu saja, oleh Dinas Pariwisata (Disparta) Kota Batu sebagai leading sektor. Setelah itu ditinggal tanpa adanya pendampingan.
Dampaknya hampir seluruh desa wisata di Kota Batu, perkembangannya jalan ditempat. Padahal peluncuran program desa wisata itu untuk mewujudkan visi misi Kota Batu, yakni Desa Berdaya Kota Berjaya.
Alih-alih membuat masyarakat desa makin berdaya. Setelah dilaunching jadi desa wisata, tidak ada sama sekali geliat yang bikin bangga. Bahkan melalui program yang diagung-agungkan itu, tidak satupun desa wisata di Kota Batu yang lolos penghargaan Anugerah Desa Wisata (ADWI) tahun 2023, yang digelar oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Pantauan di lapangan, pada Jumat (11/8/2023), tampak sejumlah destinasi di desa-desa wisata Kota Batu sepi pengunjung. Salah satunya di Kampung Wayang, Desa Beji, Kecamatan Junrejo. Tak ada gairah wisata di kampung tersebut.
Banyak ornamen seperti lukisan dan wayang ditampilkan di pinggir jalan. Beberapa rumah juga menempel wayang di tembok. Meski begitu, tidak ada keramaian apapun. Suasana Kampung Wayang terkesan sepi. Masyarakat beraktivitas seperti di kampung-kampung biasa.
Ketua RT 03/RW 4 Dusun Jambirejo, Desa Beji, Kecamatan Junrejo, Kota Batu, Puji Sunarto menyatakan, kondisi Kampung Wayang setelah dilaunching masih stagnan. Belum ada perkembangan yang lebih baik. Bahkan beberapa ornamen ada yang rusak karena minimnya perawatan.
“Sebenarnya minat wisatawan yang ingin datang sangat banyak. Tapi di Kampung Wayang ini belum siap. Kami sudah menyusun paket wisatanya. Karena tidak ada pendampingan dari dinas terkait, kami kebingungan untuk bergerak,” tutur Narko sapaan akrabnya.
Untuk memajukan Kampung Wayang, pihaknya telah menyusun sebuah paket wisata. Yakni penjabaran tentang nama-nama wayang, cara pembuatan wayang, cara mendalang dan lain sebagainya.
“Walaupun paket wisata sudah siap. Tapi para pelakunya belum siap. Kami masih bingung jika ada wisatawan mau diajak kemana dulu. Kami belum bisa mengelola hal tersebut,” jelas dia.
Dia menambahkan, para pelaku belum siap tapi dua tahun lalu sudah dilaunching dulu oleh Disparta Kota Batu. Katanya agar mendapatkan pengakuan. Agar pihaknya bersemangat. Namun setelah dilaunching, tidak ada campur tangan dari dinas terkait untuk mengembangkan Kampung Wayang.
“Setelah launching tidak ada pendampingan apapun. Waktu itu hanya bicara-bicara saja. Padahal inginnya kami ada sebuah pendampingan. Agar kami tahu seperti apa caranya meningkatkan eksistensi Kampung Wayang ini. Kami maunya Disparta Kota Batu datang ke Kampung Wayang memberikan pendampingan,” pintanya.
Dia menceritakan, terbentuknya Kampung Wayang itu karena kecintaan warga setempat terhadap kesenian pewayangan. Di kampung itu, saat ini masih belum ada dalang dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pewayangan.
“Warga setempat hanya menyukai wayang. Untuk yang lainnya kami belum ada. Karena itu kami ingin bisa menciptakan. Seperti dalang, sinden ataupun wayang. Tapi nyatanya setelah dilaunching, kami langsung ditinggal begitu saja tanpa pendampingan,” beber dia.
Narko menegaskan, seharusnya setelah dilaunching dinas terkait langsung memberikan pendampingan. Kemudian memberikan bantuan promosi. Namun selama ini hal tersebut belum pernah dilakukan.
“Pernah bilang, katanya mau ada pendampingan, mendukung pelatihan, kalau ada event siap menyiapkan hadiahnya. Tapi nyatanya sampai saat ini tidak ada realisasi,” ungkap dia.
Sementara itu, Wakil Ketua l DPRD Kota Batu, Nurochman menekankan, seharusnya dinas terkait saat melakukan branding sebuah kawasan harus betul-betul terencana, terintegrasi dan sustainable. Sehingga sebuah kawasan yang dibranding ada wujud dan aktifitas sesuai brandingnya.
“Sehingga tidak hanya membuat judul besar tanpa isi,” tegas dia.
Dalam hal ini, DPRD selalu mendukung sebuah ajuan anggaran dari dinas, yang kebijakannya bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat. Karena itu, dia mewanti-wanti agar jangan sekedar membuat kebijakan. Tapi tidak diikuti dengan tindakan yang berpihak kepada para penggerak dan kreator desa.
“Banyak wisatawan yang kecele ketika berkunjung ke Kampung Wayang. Karena ternyata hanya ada tulisnya saja. Tanpa ada aktivitas yang benar-benar sesuai branding. Bahkan masyarakat juga bingung ketika ditanya wisatawan,” tuturnya.
Cak Nur sapaan akrabnya menambahkan, seperti halnya di Desa Sumberejo. Telah dibranding sebagai desa wisata petik sayur organik. Namun ternyata para petaninya masih konvensional dan tidak ada destinasi yang benar-benar menunjukkan desa wisata petik sayur organik.
“Banyak sekali kegiatan yang hanya seremonial saha. Selesai seremoninya ya selesai juga programnya. Tidak pernah ada keberlanjutan. Benar-benar tidak serius. Sementara DPRD sangat serius merespon dan menyetujui ajuan program dan anggaran saat pembahasan APBD,” tandasnya. (Ananto Wibowo)