Oleh: Dahlan Iskan
RASANYA tidak ada lagi yang tidak setuju: batas usia calon wakil presiden 40 tahun itu terlalu tua. Bahwa ada yang tidak setuju batas itu dimudakan alasannya bukan lagi soal terlalu tua atau terlalu muda.
Alasan yang paling umum: janganlah perubahan itu dikarenakan ada kepentingan khusus yang agak mendesak. Yakni agar Gibran RakabumingRaka, putra Presiden Jokowi memenuhi syarat dicalonkan sebagai wapres.
Kini umur Gibran 35 tahun. Tanggal 1 Oktober depan 36 tahun. Menurut UU Pemilu yang berlaku, syarat minimal adalah 40 tahun.
Mengapa waktu UU itu dibuat syarat minimalnya diputuskan 40 tahun? Begitu tua?
Dari beberapa anggota dan mantan anggota DPR yang saya hubungi tidak ada yang bisa memberikan keterangan ilmiah. Seingat mereka satu-satunya pertimbangan adalah soal ”kematangan”.
Kata mereka: untuk menjadi calon presiden (dan wakil presiden) sebuah negara sebesar Indonesia haruslah seorang yang sudah matang. Tapi ketika didesak dengan pertanyaan apa ukuran matang itu tidak ada yang bisa menjawab.
Waktu itu tidak terjadi perdebatan yang keras soal batasan umur. Begitu berbicara persyaratan umur seperti langsung sepakat saja: 40 tahun. Tidak terbayangkan ada orang berumur 35 tahun bakal jadi capres atau cawapres.
Umur 40 tahun itu dianggap matang dengan perhitungan: umur 24 tahun lulus universitas, lalu selama 15 tahun berkarir di berbagai bidang. Maka mereka dianggap matang di umur 40 tahun. Ada juga pepatah yang terkenal di seluruh dunia: life begins at forty.
Tapi secara ilmiah itu tidak akan bisa dipertanggungjawabkan. Orang bisa sudah matang di usia 35 tahun. Bahkan tiga atau lima tahun sebelumnya. Pak Harto jadi presiden di usia 39 tahun. Bung Syahrir jadi perdana menteri di umur 30 tahun.
Calon presiden Amerika Serikat sekarang ini ada yang berumur 37 tahun. Namanya: VivekRamaswamy. Dari partai Republik. Pengusaha bidang keuangan. Lahirnya di Cincinnati, Ohio, keturunan India –ayahnya lahir di Karala, India selatan. Ia orang Tamil dan masih bisa berbahasa Tamil. Istrinya juga keturunan India –mereka bertemu saat sama-sama kuliah di Yale University yang terkenal itu. Vivek kuliah hukum. Istrinya kuliah di fakultas kedokteran.
Di tengah para capres yang tua-renta (Joe Biden dan Donald Trump) tampilnya Vivek seperti hujan di padang tandus. Kalau Vivek terpilih, ia jadi orang Hindu pertama menjabat presiden Amerika.
Maka tidak ada yang menentang kalau syarat umur itu dibuat lebih muda. “Bahkan dalam hal kematangan di bidang teknologi informasi, kian tua kian tidak matang,” ujar I Gede Pasek, pengacara yang mantan anggota DPR. “Justru yang lebih tua gagap teknologi,” tambahnya.
Apalagi kalau dibandingkan dengan syarat umur jadi anggota DPR. Sangat muda: 21 tahun. Apakah yang belum matang boleh jadi anggota DPR?
Yang Pasek kurang setuju adalah prosesnya: mengapa lewat Mahkamah Konstitusi (MK). Harusnya DPR yang memutuskan. “Tapi, yaaah begitulah yang terjadi. MK kian terasa mengambil alih tugas DPR,” katanya.
Ia menyebut soal nomor urut partai peserta Pemilu. Lalu partai yang sudah lolos ke parlemen tidak perlu lagi verifikasi faktual. “Kita semua setuju itu. Tapi mengapa MK yang melahirkan?” katanya.
Yang lebih nyata adalah soal masa jabatan KPK yang menjadi 5 tahun. Maka jabatan 4 tahun itu diatur dalam UU Tipikor yang mengacu ke UU KPK. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan undang-undang dasar. “Mengapa MK memutuskannya?” ujar Pasek.
Tentu kalau DPR yang harus memutuskan diperlukan waktu yang lama. Prosesnya panjang. Padahal pencalonan presiden dan wakil presiden tinggal hitungan bulan.
Pun di tangan DPR yang sudah biasa penanganiafdruk kilat pengubahan umur itu waktunya sudah tidak cukup. MK lebih bisa dipakai sebagai jalan pintas.
Kini MK sedang dalam proses menyidangkan soal batas umur calon wakil presiden itu. Dalam beberapa hari ke depan putusan sudah bisa dibuat.
Ketika tulisan ini baru saja saya kirim ke admin, Francine Widjojo, menelepon saya. Sejak sore saya memang menghubungi Francine. Sulit. Ternyata justru dia yang menghubungi saya. Maka tulisan pun saya tarik kembali. Saya lengkapi dengan keterangan Francine.
Francine adalah pengacara. Sudah 7 tahun jadi pengacara. Tahun 2021 dia bergabung ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Dia aktif di lembaga bantuan hukum PSI. Dialah yang mengajukan gugatan ke MK soal batasan umur cawapres itu.
Francine lahir di Surabaya 44 tahun lalu, tapi umur 2 tahun sudah ikut omanya ke Jakarta. Ayahnya, marga Ong, meninggal dunia. Sejak itu Francine hidup di Jakarta, sekolah di Tarakanita. Sejak TK sampai SMA. Francine lantas kuliah hukum di UPN Veteran. Sampai S-2.
Dalam gugatan itu Francine hanya ingin batasan usia dikembalikan ke 35 tahun. “Dua UU sebelumnya (2003 dan 2009) sudah menentukan 35 tahun. Kok tahun 2017 jadi 40 tahun,” katanyi. “Saya hanya minta kembali ke 35 tahun,” tambahnyi.
Francine menyadari akan ada kritik di soal open legal policy. Karena itu dalam gugatan Francine menyertakan alasan itu. Yakni “MK bisa membatalkan suatu kebijakan hukum, yang sering disebut open legal policy, kalau jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable“.
Dia menyebut contoh putusan MK terkait minimal usia perkawinan pada perempuan, usia pemberhentian hakim pajak, juga masa jabatan dan usia pimpinan KPK.
Berdasarkan ilmu psikologi, usia 35-40 tahun masuk dalam kategori yang sama, yaitu kategori dewasa akhir.
Pembatasan usia minimal 40 tahun tersebut, katanyi, juga bertentangan dengan jaminan dalam UUD 1945 bahwa setiap warga negara Indonesia berhak memiliki kedudukan, perlakuan, dan kesempatan yang sama dan adil dalam hukum.
Francine menggugat ke MK bukan atas nama pribadi. “Gugatan itu atas nama PSI dan kader muda PSI,” kata Francine. Dia sendiri akan maju sebagai calon anggota DPR dari dapil Jakarta Selatan.
Ada hubungannya dengan Gibran?
“Kami mendiskusikannya sejak akhir tahun 2022. Soal Gibran baru muncul Maret lalu,” kata Francine.
Gibran, yang kini walikota Solo, kurang dua bulan lagi merayakan ultah ke-36. Apa pun keputusan MK itulah hadiah ulang tahunnya. (*)