Malang Post – Masyarakat Desa Tlekung, Kecamatan Junrejo, Kota Batu menutup sementara akses masuk ke TPA Tlekung. Penutupan TPA Tlekung itu dilakukan karena warga kesal. Mereka merasa tidak ada tindakan berarti dari Pemkot Batu, untuk mengatasi persoalan sampah.
Warga menutup akses masuk ke TPA Tlekung menggunakan bambu dan banner. Mereka hanya memberikan akses jalan untuk sepeda motor. Sehingga truk-truk pengangkut sampah dipastikan tidak bisa masuk mulai Jumat (28/7/2023).
Penutupan itu akan berlangsung hingga tuntutan warga Desa Tlekung dipenuhi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batu. Terutama persoalan bau sampah.
Warga juga menilai pengelolaan sampah di TPA Tlekung tidak dilakukan secara maksimal. Sebab gunungan sampah yang ada saat ini semakin meninggi.
Tokoh Masyarakat Desa Tlekung, Samsul Arifin menyatakan, masyarakat menutup akses masuk jalur ke TPA Tlekung, karena warga sudah lelah. Sebab berulang kali dilakukan rapat-rapat, tapi tidak pernah ada tindakan berarti dari DLH.
“Sebelum kami tutup, banner masukan kepada Pemkot Batu sudah kami pasang. Tapi tidak ada tindakan juga,” tegas Samsul.
Pihaknya menekankan, permasalahan sampah Kota Batu bukan masalahnya warga Tlekung saja. Tetapi masalahnya seluruh masyarakat Kota Batu.
“Akan tetapi dampaknya kenapa hanya orang Tlekung yang kena. Apa masyarakat Kota Batu lainnya tidak pernah berfikir. Buang sampah ke Tlekung selesai dan tidak memikirkan dampak lainnya,” tuturnya.
Berdasarkan informasi dari petugas TPA Tlekung, Samsul mengungkapkan, jika sebenarnya TPA Tlekung sudah overload sejak tahun 2015. Akan tetapi nyatanya tidak pernah diapa-apakan.
“Kemana saja pegawainya. Mereka dibayar negara dari uang rakyat untuk menyelesaikan permasalahan sampah. Tapi kenyatannya, tidak ada hasil kerjanya. Orang Jepang itu kalau tidak bisa melaksanakan tugas mundur. Tapi disini tidak punya malu,” ungkapnya.
Oleh karena itu, pihaknya menuntut harus ada penyelesaian persoalan sampah. Melalui tindakan nyata dari DLH Kota Batu. Terlebih saat ini Desa Tlekung juga sudah menjadi desa wisata.
“Tapi kalau bau sampah, siapa yang mau datang ke Tlekung. Buka apa-apa tidak laku. Buka makanan, kos-kosan, homestay tidak laku,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, bau sampah TPA Tlekung mulai menyengat sekitar pukul 18.00 WIB. Bau tersebut terus menyengat hingga puncaknya terjadi sekitar pukul 04.00 WIB.
“Kami setiap hari tidur bersama bau sampah,” imbuhnya.
Kepala Desa Tlekung, Mardi mengatakan, penutupan akses masuk ke TPA Tlekung karena warga kecewa. Sebab janji-janji Pemkot Batu tentang persoalan sampah tidak teratasi.
“Janji awal Pemkot Batu hingga masyarakat setuju berdirinya TPA Tlekung. Katanya sampah dakan dikelola dengan baik. Tidak dibuang begitu saja. Sampah akan dikelola dijadikan pupuk. Kemudian pupuknya dikasih warga. Tapi nyatanya hal tersebut hanya berjalan sebentar diawal-awal berdirinya TPA Tlekung tahun 2023 lalu,” papar Mardi.
Kemudian soal bau sampah, hal tersebut juga sangat mempengaruhi aktivitas warga. Dia mengungkapkan, jika ada laporan warga tentang bau sampah, baru ditangani oleh DLH. Akan tetapi jika masyarakat diam, bau sampah timbul lagi.
“Karena itu, jika kekurangan tenaga warga kami juga siap bekerja di TPA Tlekung. Karena bau sampah muncul setiap hari. Hingga dampaknya dikhawatirkan dapat mengganggu kesehatan warga,” tutur Mardi.
Lebih lanjut, terjadinya gunungan sampah seperti ini. Menurut Mardi, terjadi karena sampah hanya dibuang begitu saja tanpa dikelola. Akhirnya jika hanya dibuang begitu saja, jadi menumpuk menjadi gunungan sampah.
Dia menegaskan, penutupan akses masuk ke TPA Tlekung akan terus berlaku hingga Pemkot Batu bisa memenuhi janji-janjinya dalam hal pengelolaan sampah.
“Apabila tuntutan warga tidak dipenuhi. Maka akan ditutup terus. Karena jika tidak dilakukan hal seperti ini. Masyarakat merasa hanya diabaikan saja oleh Pemkot Batu,” ujar dia.
Sementara itu, Kepala DLH Kota Batu, Aries Setiawan menyampaikan, untuk mengatasi permasalahan sampah pihaknya telah bekerja semaksimal mungkin. Terkait bau sampah, dia menerangkan jika luas TPA Tlekung hanya 9 ribu meter sejak tahun 2009 lalu.
“Luasan sel sampah sangat terbatas. Padahal minimal luasnya 5 hektare. Sehingga upaya kami harus pintar-pintar mengolah sampah, dengan cara menata sampah yang ada, kami mampatkan,” jelas Aries.
Dia menjelaskan, bau sampah itu muncul saat ada pemindahan sampah. Sehingga gas metannya naik hingga menimbulkan bau kurang sedap. Selain itu, bau sampah itu muncul karena mesin semprot eco enzym untuk mengurangi bau sampah rusak.
“Beberapa waktu lalu mesinnya rusak. Kami baru beli mesin baru dengan harga Rp6,5 juta. Bahkan untuk membeli mesin itu, kami carikan talangan terlebih dahulu. Tidak menggunakan APBD. Agar permasalahan bau sampah bisa segera teratasi,” katanya.
Kemudian soak mesin penghancur sampah. Dia menjelaskan jika saat ini di TPA Tlekung baru ada satu unit kecil. Namun nantinya akan ada tiga unit mesin penghancur sampah di TPA Tlekung. Meski begitu, untuk operasional mesin tersebut, pihaknya masih terkendala daya listrik.
“Beberapa hari lalu kami sudah cek. Mesin penghancur sampah yang kapasitasnya besar sudah jadi. Tapi persoalan daya listrik masih menjadi penghambat mesin itu belum didatangkan ke TPA Tlekung,” ungkapnya.
Untuk memenuhi kebutuhan daya listrik, guna mengoperasikan alat penghancur sampah tersebut. Pihaknya membutuhkan tambahan daya listrik sebesar 23 ribu watt. Untuk memenuhi hal tersebut, pihaknya akan mengusulkan tambahan anggaran di PAK. (Ananto Wibowo)