Malang Post – Aileen, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya program studi Antropologi berhasil menyelesaikan pendidikan S1 nya dengan nilai IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) memuaskan, yakni 3,97. Selain itu, dia menempuh masa studi yang singkat, 3 tahun 5 bulan.
Aileen menyelesaikan kuliahnya dengan tugas akhir yang mengangkat tema budaya dari wilayah Nusa Tenggara Timur. Budaya Lembata.
Judul skripsinya, “Eksplorasi Budaya Lembata: Upaya Revivalisme Budaya sebagai Modal Sosial Pembangunan”.
Eksplorasi Budaya Lembata di Kabupaten Lembata ini, merupakan revivalisme (gerakan menghidupkan kembali adat). Diharapkan bisa menjadi sebuah penawar di masa yang penuh bencana dan kesusahan.
Ketertarikannya pada budaya NTT ini, berawal dari keikutsertaannya membantu dosen mengerjakan penelitian. Ia berkesempatan tinggal sebulan di sana dan mengikuti kegiatan Eksplorasi Budaya Lembata.
“Mengikuti kegiatan Eksplorasi Budaya Lembata menurut saya menarik. Akhirnya saya memutuskan untuk menuliskannya menjadi skripsi,” ujar mahasiswa asal Jakarta Barat ini.
Kegiatan eksplorasi yang diinisiasi pemerintah ini, berusaha mewujudkan nilai-nilai yang didasarkan pada pengalaman hidup melalui ritual kebudayaan.
Aileen mengatakan, ada nilai-nilai yang berusaha diangkat pada kegiatan ini. Yakni, semangat pelayanan, persatuan atas dasar kesamaan asal-usul, pentingnya menjaga hubungan dengan alam dan leluhur serta kebersamaan.
Menurutnya, kegiatan Eksplorasi Budaya Lembata menarik, karena tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menggali nilai-nilai luhur yang ada dalam tradisi masyarakat ritual di 10 titik desa. Tiap desa melakukan ritual yang berbeda. Nilai-nilai yang terangkum dalam tiap ritual ini, diharapkan pemerintah menjadi modal sosial untuk pembangunan daerah.
Ritual yang dilaksanakan adalah ritual Loulepa Leterua Ili di desa Jontona, Ile Ape Timur; ritual Gewale Lolomasa Doa di Desa Banitobo, lebatukan; ritual Lotiwa di desa Lodotodokowa, Lebatukan; ritual lu Uhe Bei Ara di desa Benihading, Buyasuri; ritual Bineng Ma’ing di desa Kalikur, Omesuri; ritual Tugul Gawak di desa Atakore, Atadei; ritual Pakulewo dan Toweloge di desa Leworaja, Wulandoni; ritual Sika Sedo Angi Keferok di desa Boto, nagawutung; ritual Gwalet Malu-Kleruk-Lekat Tuak di desa Baolangu, Nubatukan; serta ritual Muro letu Badu di desa Dulitukan, Ile Ape.
“Sudut pandang melihat pembangunan tidak hanya dari segi fisik. Melainkan juga dari segi mental. Dari tulisan mengenai kegiatan Eksplorasi Budaya Lembata, saya ingin menunjukkan bahwa dalam pembangunan yang menjadi fondasi dan harus terlebih dahulu dibangun, ialah manusianya,“ tuturnya.
Menyelesaikan kuliah dalam masa yang singkat memang keniscayaan bagi Aileen yang mengaku menyenangi aktivitas membaca buku maupun jurnal penelitian. Itu karena rasa ingin tahunya yang besar termasuk didukung dengan suasana pembelajaran yang kondusif di prodi.
“Dosen di prodi juga berkontribusi besar dalam masa perkuliahan saya mulai dari ilmu dan diskusi yang menyenangkan, pemikiran kritis yang ditanamkan, hingga kesempatan untuk mengikuti penelitian,” tandasnya. (M Abd Rahman Rozzi – Yanuar Triwahyudi)