Oleh: Dahlan Iskan
SEPERTI apakah organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di masa yang akan datang? Apakah seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang tidak bergigi –pun di mata anggotanya sendiri?
Tugas utama organisasi profesi adalah menjaga dan menegakkan kode etik. Dalam hal IDI, menegakkan kode etik dokter. Dalam hal PWI, tugasnya menegakkan kode etik jurnalistik.
Tapi seperti PWI tidak mudah melaksanakan tugasnya itu. Menjadi wartawan tidak perlu minta rekomendasi PWI. Menerbitkan media tidak perlu izin siapa-siapa. Apalagi di zaman medsos ini. Semua orang bisa menjadi wartawan. Siapa saja bisa punya media.
Maka organisasi PWI praktis lumpuh. Memang masih banyak yang berambisi menjadi ketua PWI. Seolah PWI itu sangat penting. Tapi PWI sudah bukan apa-apa lagi.
Memang IDI tidak seperti PWI. Untuk menjadi dokter harus benar-benar tahu apa yang dikerjakan sebagai dokter. Pendidikan dokternya pun sangat panjang. Pendidikan dokter sudah sangat cukup membekali dokter untuk mengerjakan pekerjaan dokter.
Di wartawan tidak. Tanpa pendidikan wartawan pun bisa jadi wartawan. Dalam hal pendidikan yang terkait dengan pekerjaannya, profesi wartawan adalah yang paling parah.
Apakah ke depan IDI akan pecah seperti di organisasi wartawan? Sampai hari ini IDI masih yang paling solid. Mungkin karena selama ini IDI dijamin oleh UU Kesehatan. Tapi dengan disahkannya UU Kesehatan yang baru, nama IDI tidak tercantum lagi. Senjata untuk mengharuskan semua dokter menjadi anggota IDI juga tidak ada lagi.
Organisasi profesi seperti PWI memang punya program banyak. Terutama terkait dengan peningkatan mutu wartawan. Di IDI pekerjaan seperti itu tidak ada. Dokter sudah dibekali pendidikan yang cukup. Kalau mau meningkat masih ada pendidikan spesialis.
Di PWI malah ada pekerjaan tambahan: meningkatkan kesejahteraan wartawan. Sampai ada wakil ketua bidang kesejahteraan. Sampai pun mengurus fasilitas perumahan wartawan. Rasanya hanya PWI organisasi profesi yang mengurus kesejahteraan anggotanya. Seolah profesinya tidak bisa membuat sejahtera.
Ke depan IDI mestinya tetap penting. Kepada siapa masyarakat mengadukan dokter yang melanggar kode etik. Ataukah langsung ke pemerintah. Lalu pemerintah sendiri yang akan menindak. Pemerintah yang mengeluarkan izinpraktik, pemerintah yang mengawasi.
Dalam hal dokter rasanya antara kode etik dan peraturan saling berimpitan. Seorang dokter yang melanggar pasal tertentu dalam kode etik bisa jadi juga melanggar pasal tertentu dari sebuah peraturan negara.
Dalam praktik sehari-hari organisasi profesi sangat sulit menindak anggotanya. Pemerintah lebih mudah menindak pegawainya.
Ada contoh baik: Organisasi profesi pengacara kini sudah terbiasa tidak lagi satu. Profesi yang paling banyak organisasinya adalah pengacara. Tapi organisasi pengacara masih punya gigi: calon pengacara harus ikut ujian di masing-masing organisasi. Tanpa itu ia tidak bisa dapat izinberacara di pengadilan. Banyaknya organisasi di profesi pengacara sudah dianggap biasa. Pengacara sudah move onmenghadapi kenyataan hidup baru.
Setelah IDI tidak disebut lagi di UU Kesehatan yang baru, rasanya tinggal satu yang masih hebat: notaris. Organisasi notaris tetap satu: INI (Ikatan Notaris Indonesia). Nama INI pun ada dalam UU Jabatan Notaris. Izin notaris tidak akan keluar kalau tidak punya nomor keanggotaan di INI. Bahkan ikut ujian kode etik pun tidak bisa.
Rasanya pemerintah masih perlu IDI seperti juga perlu INI. Dengan adanya IDI tugas pemerintah lebih ringan. Maka masih banyak peluang untuk membuat IDI bertaji. Yakni lewat peraturan-peraturan pelaksanaan UU Kesehatan yang baru.
IDI jangan sampai seperti PWI. (*)
Keren cak… Tp, rata2 organisasi single bar yg punya “kuasa absolut” cenderung semau gue. Atas itulah maka byk protes dr para anggotanya. Jaman sdh berubah, kitalah yg hrs mengikutinya.
Semoga organisasi2 profesi yg ada di Indonesia, semakin profesional.