
Malang Post – Selain faktor alam karena hujan intensitas tinggi. Banjir bandang di Desa Ngantru, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang yang terjadi, Kamis (13/4/2023) kemarin. Juga diduga disebabkan karena alih fungsi hutan di bagian hulu.
Diberitakan sebelumnya, banjir bandang yang terjadi di Kali Talang itu membawa sejumlah material. Mulai dari lumpur, rumpun bambi hingga gelondongan batang pohon. Kondisi tersebut mirip dengan banjir bandang yang melanda Kota Batu akhir tahun 2021 lalu.
Kepala Desa Ngantru, Setyo Budi menyatakan, banjir bandang serupa bukan pertama kalinya terjadi di Kali Talang. Namun banjir bandang serupa sudah terjadi beberapa kali.
”Sebelumnya pernah terjadi banjir bandang pada tahun 2010 dan 2021. Lalu, sekarang kejadian lagi dan sekarang ini paling parah,” ungkap Budi, Jumat (14/4/2023).
Budi menduga jika gelondongan kayu yang terseret banjir itu merupakan sisa material dari kejadian meletusnya Gunung Kelud, sehingga menjadi bendung alam. Kemudian baru terbawa arus ketika ada hujan deras.
Meski begitu, kejadian ini perlu dimitigasi ulang karena bencana hidrometeorologi yang terjadi di kawasan Malang Barat bukanlah yang pertama.
Manajer Advokasi dan Hukum WALHI Jatim, Pradipta Indra mengatakan, perlu ada kajian teknis lebih lanjut untuk mengungkap penyebab banjir bandang tersebut. Artinya, ketika terjadi bencana hidrometeorologi ini perlu dikaji secara keseluruhan, termasuk soal perencanaan tata ruang di kawasan hutan.
“Jangan-jangan, ada aktivitas di bagian hulu yang berlebihan,” kata Indra.
Melihat dari sejumlah material banjir bandang yang ada, dimungkinkan ada kerusakan ekologis di bagian hulu. Material lumpur setinggi 2 meter yang menerjang juga pastinya terjadi karena erosi akibat tidak adanya pohon tegakan.
”Meski kami belum ada yang terjun langsung ke bagian hulu. Tapi melihat berbagai material itu bisa jadi menunjukkan bahwa ada yang rusak di bagian hulu,” ungkapnya.
Berdasarkan data laporan dari WALHI Jatim. Pihaknya kerap menerima laporan terkait pembukaan lahan di wilayah Pujon sepanjang jalur utama Malang-Kediri. Idealnya, bencana hidrometeorologi tidak akan terjadi ketika di bagian hulu masih terdapat banyak pohon penyangga.
Berdasarkan data di Perum Perhutani menyebutkan daerah hutan yang beralih fungsi atau tergolong lahan kritis di Kabupaten Malang mencapai 10 ribu hektar. Lahan hutan kritis tersebut terdiri dari hutan lindung seluas 2.435 hektar, hutan konservasi 2.012 hektar dan hutan produksi 5.621 hektar.
Meski begitu, pihaknya belum bisa menyimpulkan soal penyebab pasti bencana banjir bandang itu. Namun, jika berkaca dari bencana di banyak tempat, bencana hidrometeorologi terjadi bukan hanya karena faktor perubahan iklim semata.
”Bisa jadi, ada aktivitas pada bagian hulu yang membuat kerusakan ekologis yang cukup fatal. Sehingga memicu terjadinya banjir bandang,” kata Indra.
Terpisah, Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Malang Sadono Irawan juga belum bisa memastikan penyebab terjadinya banjir bandang tersebut. Hanya saja, dia membenarkan jika volume material banjir bandang kali ini lebih banyak dari tahun sebelumnya.
”Soal penyebabnya saya belum bisa jawab karena belum ada pemetaan ke arah lereng gunung. Tapi memang material yang dibawa lebih banyak dibanding pada 2021 lalu. Mungkin bisa ditanyakan ke pihak terkait seperti Muspika dan Perhutani,” jelasnya.
Sebelum banjir bandang tersebut, pada awal tahun 2023 kemarin, longsor juga terjadi secara berturut-turut di sepanjang jalur Pujon, Ngantang, hingga Kasembon. Hal tersebut terjadi akibat masifnya alih fungsi lahan hutan jadi perkebunan. (Ananto Wibowo)