Malang Post – Alokasi pupuk subsidi dibatasi untuk sembilan komoditi pertanian. Diantaranya padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kakao dan kopi. Kebijakan tersebut dikeluarkan pemerintah pusat.
Dengan adanya kebijakan tersebut, membuat petani Kota Batu kebingungan. Sebab rata-rata komoditi pertanian Kota Batu tak masuk dalam daftar alokasi pupuk bersubsidi. Salah satu petani jeruk dan rumput gajah di Kota Batu, Sumari menyatakan, dengan adanya kebijakan tersebut, tentunya memberatkan petani. Sebab pihaknya perlu merogoh kocek lebih dalam untuk membeli pupuk.
Karena sudah tidak ada lagi pupuk bersubsidi. “Terpaksa harus beli pupuk non subsidi meski harganya tinggi. Dengan adanya hal tersebut kami lebih menghemat penggunaan pupuk. Jika biasanya kami gunakan pupuk 1 kilogram. Kini tinggal setengahnya, ditambah menggunakan pupuk kandang,” tutur dia, kemarin.
Sumari memaparkan, satu sak pupuk NPK non subsidi 50 kilogram harganya Rp 1 juta. Selisihnya cukup jauh dibandingkan pupuk subsidi yang dibanderol seharga Rp 115 ribu per sak. Lalu untuk pupuk urea non subsidi harganya tembus Rp 500 ribu. Sementara pupuk urea bersubsidi harganya berkisar Rp 111 ribu.
“Supaya kualitas tanamannya tetap sama, petani memberi pupuk kandang, memang itu bagus untuk memperbaiki pH tanah. Tetapi kebutuhannya untuk dua pohon itu satu sak, jadi belum bawanya bolak bali kesana, bensin-nya berapa, operasional petani bertambah,” katanya.
Meski pengeluaran untuk biaya perawatan bertambah, namun hal itu belum diikuti dengan harga jual panen jeruk. Lantaran harganya masih ditentukan kebutuhan pasar. “Harga jeruk enggak bisa naik, karena tergantung pasarnya. Keuntungannya berkurang karena biaya operasionalnya naik, belum lagi obat-obat pertaniannya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Sumari mengungkapkan, di Desa Tlekung terdapat sekitar 700 ekor sapi perah. Setiap harinya, ratusan ekor sapi perah itu membutuhkan pakan rumput gajah. Sedangkan saat ini, setiap ikat rumput gajah seharga Rp 10 ribu dengan berat 18 kilogram.
“Biasanya memang para peternak punya lahan rumput gajah sendiri di lahan perhutani, tetapi kan tidak mesti setiap hari ambil rumput, jadi juga beli, terus kan juga enggak kuat petani kalau pakai pupuk kandang bolak balik itu kebutuhannya,” katanya.
Salah seorang petani apel Desa Tulungrejo, Suparman turut mengeluhkan sulitnya mendapatkan pupuk. Dia mengungkapkan saat ini sudah tidak ada lagi pupuk subsidi. Kemudian jika ingin membeli pupuk non subsidi di pasaran stoknya juga tidak ada.
“Kami mohon ketersediaan pupuk bisa dibantu. Karena saat ini, ibarat bernafas para petani ini sudah kembang kempis. Pupuk langka, harga jual murah, sedangkan biaya operasional selangit,” tegas Parman.
Wakil Ketua DPRD Kota Batu, Nurrochman meminta Pemkot Batu berkirim surat ke pemerintah pusat. Hal ini agar ditemukan solusi terkait pembatasan pupuk subsidi yang dialokasikan hanya untuk sembilan komoditas pertanian.
“Para petani di luar sembilan komoditas pertanian itu dibuat kebingungan lantaran tak bisa mendapat pasokan pupuk subsidi. Pembatasan pupuk subsidi tidak sesuai dengan kebutuhan yang berbeda di tiap daerah. Saran saya, Pemkot Batu menyurati Kementan maupun Presiden agar ada kebijakan khusus. Penerima bantuan berdasarkan by data,” ujarnya.
Pihaknya bersedia mengawal persoalan yang dialami petani Kota Batu. Terlebih, mayoritas tanaman yang dibudidayakan petani Kota Batu berupa apel, jeruk maupun sayuran. Tentunya jenis pertanian itu tak termasuk sebagai penerima pupuk subsidi.
Pembatasan pupuk subsidi juga menjadi batu sandungan terhadap upaya revitalisasi keberlanjutan pertanian apel yang digalakkan Pemkot Batu. Sementara keuangan daerah belum cukup mampu menopang program bantuan kepada petani yang tersisih imbas kebijakan itu.
“Kita berharap ada perlakuan khusus ke Kota Batu, karena apel ini ikonnya Kota Batu, jadikan apel ini sebagai masalah nasional, sehingga akan terbit kebijakan nasional, sehingga harapannya ada subsidi pupuknya sesuai dengan lahan apel yang ada,” katanya.
Sekretaris Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Batu, Harijadi Agung Setijana menuturkan, terjadi penurunan signifikan jumlah petani penerima pupuk subsidi. Pada tahun 2023 alokasi penerima pupuk bersubsidi sebanyak 2.800 petani. Jumlah tersebut, berbanding jauh pada tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 8.000 petani.
“Kami mengikuti pemerintah pusat, ada penyesuaian kebijakan alokasi pupuk bersubsidi, yang 9 komoditas itu. Keluhan memang kami seringkali terima, sejauh ini kami menyarankan untuk penggunaan pupuk kandang,” kata Agung.
Untuk meringankan keluhan para petani, pihaknya pada tahun 2023 ini menganggarkan bantuan sarana produksi (saprodi) pertanian seperti tahun-tahun sebelumnya. Untuk alat-alat mesin pertanian dianggarkan sekitar Rp 2 miliar. Untuk saprodi, seperti bibit, pupuk organik dan obat-obatan pertanian dianggarkan Rp 3 miliar.
“Penerima sesuai usulan dari kelompok-kelompok tani, masing-masing desa/ kelurahan ada yang dapat, tetapi tidak semua,” katanya. Selain itu, bantuan saprodi pertanian juga diberikan untuk program revitalisasi pertanian apel. Tahun ini, untuk anggaran bantuan yang diberikan sekitar Rp 180 juta.
Bantuan tersebut untuk lahan pertanian apel dengan luas sekitar 2 hektare di Desa Tulungrejo, Bulukerto dan Sumbergondo. “Bantuan itu untuk pemberian pupuk organik, lab dan bantuan bibit apel tambal sulam yang rusak. Memang tidak bisa semua lahan bisa di bantu karena keterbatasan anggaran,” katanya.
Sementara itu, Pj Wali Kota Batu, Aries Agung Paewai menyampaikan, dengan adanya permasalahan tersebut, pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian. Terlebih, pertanian hortikultura Kota Batu menjadi andalan nasional.
“Beberapa waktu lalu, saya bertemu Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo di Surabaya. Beliau mau bantu pertanian hortikultura Kota Batu, karena jadi andalan nasional. Dalam waktu dekat ini, beliau akan datang langsung ke Kota Batu untuk meninjau. Mungkin nanti akan mengulas juga terkait pupuk,” tandasnya. (Ananto Wibowo)