
Malang Post – Pernikahan dini di Kabupaten Malang, tertinggi di Jawa Timur (Jatim). Dampaknya, sering terjadi persoalan dalam rumah tangga. Hingga terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Selain itu juga membawa permasalahan terkait stunting, atau gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Gegara kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. Ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Malang, drg Arbani Mukti Wibowo, kepada wartawan, telah mengingatkan potensi KDRT dan Stunting. Apalagi dari catatan Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Malang, sepanjang tahun 2022 angka dispensasi kawin mencapai 1.393 perkara.
“Kami menyayangkan banyaknya dispensasi kawin dini tersebut. Karena memiliki dampak negatif kepada pasangan yang menjalani rumah tangga. Baik secara psikologis maupun medis,” tuturnya.
Salah satunya, kata Arbani, potensi adanya KDRT. Biasanya anak di bawah umur dalam menjalani rumah tanggal, belum matang secara psikis. Mereka belum terbiasa membangun konsep rumah tangga. Terutama bila dibenturkan pada masalah ekonomi.
Sementara rumah tangga yang kondusif, akan terbentuk apabila pasangan suami istri siap secara psikis, kesehatan, ekonomi, serta memiliki sepemahaman bersama.
“Kesepahaman itu terkait perilaku sehari-hari dan terkait dengan goal yang akan dicapai dalam rumah tangga. Apabila tidak memiliki kesepahaman bersama, suatu rumah tangga akan rentan mengalami KDRT, baik psikis maupun fisik,” jelas Arbani.
Menurutnya, laki-laki maupun perempuan yang sama-sama masih anak-anak, egonya masih tinggi. Dari sisi kesehatan medis, bayi yang lahir dari seorang ibu yang masih berusia remaja, memiliki risiko lahir prematur dan stunting.
Sebab dari sisi kesehatan reproduksi, ibu yang masih berusia remaja belum siap. Jika orang tua belum siap dari segi ekonomi, kesehatan dan psikis, bayi yang dilahirkan berisiko prematur dan stunting.
Untuk menekan angka pernikahan dini, komunikasi orang tua dan anak perlu dibangun. Guna mencegah pergaulan bebas anak hingga berujung pada pernikahan dini.
“Kasus pernikahan dini tersebut, kuncinya ada pada keluarga. Orang tua harus selalu berkomunikasi dengan anak. Karena komunikasi dalam rumah tangga itu perlu. Sehingga komunikasi sangat perlu untuk membangun rumah tangga, agar tidak terjadi persoalan yang berujung KDRT,” terangnya.
Disisi lain, kata Arbani, DP3A Kabupaten Malang membuat program sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dan menggandeng berbagai lembaga eksternal. Salah satunya dengan lembaga Perkumpulan Perempuan (Puspa), yang dibentuk Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang.
Juga dengan Dinas Pendidikan (Dindik), Dinas Kesehatan (Dinkes) dan Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Malang, untuk melakukan sosialisasi dan edukasi ke sekolah-sekolah dan orang tua tentang dampak buruk dari pernikahan dini.
“Sosialisasi dan edukasi yang kita lakukan itu, agar masyarakat Kabupaten Malang paham akan dampak yang terjadi, ketika anaknya menjalani pernikahan dini. Sehingga dampak-dampak yang akan terjadi bisa diminimalisir agar tidak terjadi KDRT maupun stunting,” pungkasnya. (Ra Indrata)